April 2014 - Pekalonganisme

30 April 2014

Pek-Alongan, Kota Maritim Yang Hilang?

5:18 PM
Pek-Alongan, Kota Maritim Yang Hilang?
Pekalongan, Pekalonganisme.com
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang mbak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa

Masih ingatkah dengan petikan lagu diatas? lagu yang biasa diajarkan guru kita dalam kelas menyanyi dimasa TK sampai SD, mungkin sampai sekarang kita masih ingat ya? Namun kira-kira apa yang terbersit dalam kepala kita, ketika mendengar atau menyanyikan lagu tersebut? Apakah lagu tersebut menyadarkan (mengingatkan) kepada kita akan sejarah kemaritiman masa dulu, atau kita sudah anggap lagu tersebut hanya sekadar sebuah lagu? Atau bahkan kita tidak percaya kalau nusantara punya sejarah maritim yang gemilang? Dan kaitannya dengan Pekalongan, daerah yang terletak dipesisir pulau jawa, seperti apa perkembangan maritim di wilayah ini, apakah Pekalongan layak juga dikatakan kota maritim?

Dalam tulisan ini, saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, saya hanya akan mengajak anda semua untuk mencoba membaca ulang sejarah perjalanan Pekalongan, terlebih khusus kaitannya dengan kemaritiman wilayah ini. Setelah itu, silahkan anda sendiri yang buat kesimpulan. Bukan maksud untuk ber-klangenan (mengenang masa lalu yang indah), akan tetapi mari kita mengingat dan mengambil pelajaran, selagi masih ada yang dapat kita eksplorasi dan pelajari, karena bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan sejarah, bangsa yang belajar dari sejarah.

Apa si yang kita pahami dari kata maritim, Kemaritiman dan kekuatan maritim? Dan apa untungnya mempunyai kekuatan maritim?

Maritim adalah segala hal yang berkaitan dengan laut, mulai dari pelayaran dan perdagangan di laut, keamanan di laut (angkatan laut), sampai pada infrastruktur yang berkaitan dengan laut. Selain sebagai jalur perdagangan dan pelayaran antar wilayah (baik antar pulau, benua, maupun antar negara), laut menyimpan berjuta sumber daya alam yang bisa dijadikan penghidupan manusia. Dan kerajaan atau negara yang besar ialah negara yang punya strategi kekuatan maritim, kekuatan maritim bukan hanya meliputi angkatan laut saja, melainkan juga kegiatan ekonomi (pelayaran/perdagangan laut), dan infrastruktur yang berkaitan dengan laut(teknologi kelautan, transportasi laut, pelabuhan atau bandar, strategi laut).

Bangsa Indonesia menyebut wilayahnya sebagai “tanah air”. Secara harfiah, maka Indonesia terdiri atas tanah dan air. Tanpa air, Bumi Indonesia tidak akan dapat disebut tanah air, pun sebaliknya. Memang, Wilayah Nusantara terdiri dari 80% air, dan karena itu sudah sejak dulu sudah punya orientasi maritim. Tidak ada pengaruh besar dari luar dalam pembentukan semangat maritim nusantara, kesadaran akan geografi dan ekologi sekitar membuat para nenek moyang kita sangat menggantungkan hidupnya pada laut. Namun, tidak berarti barang-barang dagangan mereka hanya bersumber dari laut sehingga menutup akses dan sumber daya agraris. Para pendahulu nusantara juga memperdagangkan hasil-hasil pertanian, seperti cengkeh, lada, dan kayu manis yang menjadi hasil alam paling diminati di Eropa dan Cina. Barang-barang ini diekspor hingga mencapai istana dinasti Han di Cina Utara 2.000 tahun lalu, berikut juga ke Roma pada tahun 70 M, dan Mesopotamia pada ± tahun 1700 SM. (Amelia Rahmawaty, S. H. Int, Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan Sejarah Indonesia, http://www.fkpmaritim.org)

Pekalongan Kuno
Semua daerah dari kepulauan nusantara , dapat dipastikan punya pengalaman dan orientasi Maritim, seperti disebutkan diatas bahwa nusantara sudah sejak dulu memulai aktifitas maritim nusantara dan internasional, bahkan sejak sebelum Masehi . Termasuk juga Kota-kota dipesisir Pulau Jawa, dan Pekalongan dalam perjalanan sejarahnya merupakan daerah yang cukup punya andil dalam dunia kemaritiman nusantara maupun internasional. Sekitar abad VII-VIII M, konon wilayah Pekalongan kuno di bawah kekuasaan raja-raja keturunan dinasti Sanjaya dan Syailendra. Wilayah Petungkriono dulu ialah salah pusat pemerintahan kuno, sedang daerah Bandar merupakan pelabuhannya. Gugusan pantai masa itu memang di wilayah-wilayah Pekalongan Selatan, seperti Doro, Kajen, dan sederetnya, sedang Pekalongan Kota yang sekarang ini, dulunya masih berupa lautan. Kedalaman pantai kuno ini mencapai sekitar 150 meter, sehingga memungkinkan kapal jenis cadik yang seperti dalam relief candi Borobudur bisa berlabuh.

Hal tersebut membuat Wilayah Pekalongan kuno ramai dengan lalu lintas perdagangan, baik dari Arab, Cina, India, dan Melayu. Sedang kapal cadik sendiri, dalam catatan sejarah dikatakan sebagai kapal yang dipakai para pelaut dari nusantara abad VIII M selain untuk transportasi antar pulau, juga dipakai untuk misi pelayaran perdagangan sampai ke India, Madagaskar, bahkan pelayarannya ke timur sampai ke Hawai dan Selandia Baru. Kenapa dikatakan cadik, karena kapal ini memakai cadik sebagai penyeimbang  dan pemecah ombak. Design kapal ini tidak terlalu besar, akan tetapi daya jelajahnya sudah sampai sekitar 2000 mil. Sebuah teknologi perkapalan yang sangat canggih dimasa itu, dan yang perlu digaris bawahi bahwa hal ini, jauh sebelum Eropa mengenal kapal dan melakukan ekspedisi pelayaran untuk misi pencarian rempah-rempah (penjajahan/kolonialisasi). Kalau anda mengunjungi Candi Borobudur, sempatkan lah melihat relief Kapal Cadik ini. Dan kunjungilah museum kapal  “Samuderaraksa”, sebuah kapal yang dibuat sesuai dengan kapal cadik dalam relief. Kapal Samuderaraksa  pernah melakukan ekspedisi “napak tilas pelayaran abad ke 8 M” sekitar tahun 2003. Kapal Samuderaraksa berlayar tanpa mesin dilengkapi dengan 2 layar tanjak, 2 kemudi, dan cadik ganda, mengarungi samudra dengan tujuan Madagaskar, Cape Town, Ghana. Setelah berbulan-bulan berada di lautan lepas, akhirnya Samudraraksa berhasil merapat di Pelabuhan Tema, Accra, Ghana, 23 Februari 2004.

Abad 9 M sampai abad 16 M (masa kolonialisasi), kepulauan nusantara mempunyai jaringan kekuatan maritim yang diitopang antar satu sama lain daerah (pulau) di nusantara. Masing-masing pulau mempunyai kota-kota pelabuhan yang menjadi sarana perdagangan dan transportasi antar wilayah (pulau). Disisi lain muncul kerjasama antar masing kerajaan daerah dalam usaha pengamanan aktifitas laut dan kestabilan ekonomi laut. Masing-masing kerajaan mempunyai armada angkatan laut untuk menjamin keamanan jalur-jalur. Keadaan ini yang kemudian menjadikan kemakmuran pada masing-masing daerah (kerajaan) di nusantara, disisi lain juga diuntungkan dengan kondisi tanah nusantara yang relatif subur.

Sebuah penjelasan dalam buku Pekalongan Inspirasi Indonesia, Dr. Kusnin Asa, merujuk pada naskah cina kuno Wai-Tai-Ta, mengatakan bahwa pada tahun 1178 M Cou-Ju-Kua (Masa dinasti Tsung) menyebutkan Chepo (Jawa) disebut juga dengan Poe-Chua-lung.  Konon dikatakan bahwa Poe-Chua-lung merupakan daerah pelabuhan yang cukup besar yang berada ditengah pulau jawa, para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa Poe-Chua-lung sama juga dengan Pekalongan. 

Alongan; Mendapatkan Tangkapan (Hasil)

Asal-muasal penamaan daerah Pekalogan yang sering diketahui dan dipakai khalayak umum, banyak yang merujuk pada kisah yang meceritakan Bahurekso seorang bupati pertama masa Sultan Agung Mataram Islam yang melakukan tapa kalong. Dari kisah tersebut, konon lantas kemudian dijadikan untuk penamaan daerah ini. Namun kalau kita mau menelisik lebih jauh terkait penamaan daerah ini, seperti yang dilakukan oleh Suteja K. Widodo (ahli sejarah Universitas Diponegoro) dalam bukunya, Ikan Layang Terbang Menjulang, Suteja merujuk kitab Poerwa Lelana terkait nama Pekalongan. Nama Pekalongan konon turunan dari kata along (sebuah kata yang berkaitan dengan dunia kenelayanan) yang artinya; memperoleh hasil tangkapan  dari pekerjaannya menangkap ikan di laut.

Along dalam bahasa Jawa Kromo berarti pengangsalan, sampai sekarang, along merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menamakan hasil tangkapan laut dalam jumlah besar atau banyak oleh masyarakat di kawasan pantai utara Jawa bagian tengah, seperti di Demak, Jepara, Rembang sampai dengan Tuban.

Pada akhir abad 14, setelah mengalami proses Sedimentasi (pengendapan laut) yang panjang, terciptalah daratan baru yang lantas dikemudian hari menjadi kawasan permukiman. Wilayah inilah yang sekarang menjadi wilayah kota Pekalongan. Akan tetapi walupun mengalami proses sedimentasi, Pekalongan masih tetap mempunyai  pelabuhan, ini dibuktikan dengan banyaknya para urban dan migran yang datang dari Arab dan Cina yang kemudian membentuk kelompok dan pusat perdagangan di wilayah ini. Pada tahun 1439 M, Laksamana Cengho dari Dinasti Ming singgah di Pekalongan, dia menyebut nama Pue-Cha-Lung dengan Wu-Chueh yang artinya pulau yang indah.

Ketika masa Kesultanan Cirebon berkuasa diwilayah Pekalongan, diangkatlah kepala bandar pelabuhan menjadi  kepala daerah dengan nama Wu-hang . Pada masa Mataram Islam, Bahurekso, yang dalam beberapa versi diyakini sebagai pendiri Kadipaten Pekalongan, adalah salah satu "Panglima" Pasukan Sultan Agung. Bahurekso sebagai Panglima Armada Maritim dalam perebutan Batavia dari cengkeraman VOC yang dipimpin Jendral Jan Pieterson Coen. Sejarah mencatat penyerangan Sultan Agung ke Batavia terjadi tahun 1628 – 1629. Waktu itu, Posisi Pelabuhan Pekalongan menggantikan Posisi Demak dan Jepara sebagi Pusat Kekuatan Militer Laut dan Perdagangan, karena Jepara dan Demak dihancurkan Jan Pieterzoon Coen pada 1613, dan Pada 1619 Jan Pieterzoon Coen menaklukkan Sunda Kelapa dan menggantinya dengan nama Baatavia.

Wilayah Pekalongan, selalu menarik orang luar untuk mengunjungi daerah ini, disamping Pekalongan sebagai wilayah regensi atau kotamadya yang dari dulu sudah berkembang pusat produksi kain dan perdagangan, Pekalongan juga wilayah keresidenan (residensi) yang terletak di Pantai Utara Jawa, merupakan salah satu pusat pendaratan ikan yang keberadaannya sudah berlangsung lama (Suteja K. Widodo, Ikan Layang Terbang Menjulang). Kawasan laut sekitar  Pelabuhan Pekalongan  ke sebelah timur sampai laut sekitar kepulauan Karimunjawa sudah lama dikenal sebagai kawasan kaya ikan.

Masa Kolonial dan Maritim Jawa

Pada mulanya, kedatangan pelaut-pelaut Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda) dilandasi oleh keinginan berdagang. Namun, karena melihat kesuburan dan kemakmuran nusantara dan raja-rajanya yang kaya, keinginan tersebut kemudian berubah menjadi kerakusan, sehingga bernafsu memonopoli kota-kota pelabuhan, perdagangan nusantara, dan wilayah nusantara itu sendiri.

Menurut Prof. Djoko Suryo guru besar ilmu sejarah Uiversitas Diponegoro, saat pertama kali datang ke Jawa, pelaut Belanda, Cournelis de Houtman(1565-1599)  terkejut dengan kesibukan aktivitas perdagangan internasional disana. Perdagangan tidak hanya dilakukan oleh penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Barat, Arab dan Cina. Sehingga, ia pun menceritakan hal ini kepada pengusaha-pengusaha di Barat sekembalinya ia ke Belanda, di sisi lain juga ketenaran rempah-rempah yang dimiliki nusantara sudah diketahui dunia. Selain membawa “kabar” tentang nusantara yang letaknya strategis dan memiliki lahan yang subur, kembalinya De Houtman ke Belanda juga membawa rempah-rempah yang memberi keuntungan besar. Mengetahui hal tersebut, penjelajah Belanda (lebih tepatnya perusahaan perdagangan) lainnya kemudian ikut berlayar ke nusantara (Jawa) untuk membeli rempah-rempah (Amelia Rahmawaty, S. H. Int, Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan Sejarah Indonesia, http://www.fkpmaritim.org).

Kehadiran Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC (1602-1799) kongsi dagang Belanda di Jawa menjadi awal kemunduran kegiatan maritim di Jawa. Sejak awal, niat VOC berfokus pada perdagagan. Untuk itu, dibutuhkan hasil pertanian agar dapat diekspor sebanyak-banyaknya dan didapat semurah-murahnya untuk mengeruk keuntungan maksimal. Oleh karena itu, strategi VOC adalah memaksa petani-petani (Jawa) menanam komoditi yang laku dan memonopoli perdagangannya. Pemetaan yang lebih jelas sebagai berikut.

Monopoli perdagangan yang ditetapkan VOC membuat armada laut VOC menjaga laut-laut (dan menguasai pelabuhan) Nusantara (Jawa) untuk menghindari terjadinya perdagangan antara pribumi Nusantara dengan pedagang asing, terutama sekali Portugis dan Spanyol. Raja-raja Nusantara hanya boleh berdagang dengan Belanda dan pedagang lain yang telah mendapat izin dari VOC. Penjagaan laut membuat rakyat tidak dapat melaut secara bebas karena laut-laut dijaga oleh kapal-kapal Belanda.

VOC mewajibankan menggarap tanah dan menanam tanaman yang telah ditentukan (komoditi yang menguntungkan seperti gula (tebu), kopi, dan nila (indigo)) untuk kemudian dijual kepada VOC dengan harga mahal. VOC memaksa orang Jawa menjadi produsen pertanian, tetapi tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk berdagang karena perdagangan dimonopoli oleh VOC. Sehingga, VOC menguasai perdagangan dan pelayaran, sedangkan orang Indonesia(Jawa) menjadi petani kuli.

Yang terakhir adanya kebijakan contingenten yang mewajibkan rakyat menyerahkan hasil bumi sebagai pajak. Kewajiban-kewajiban ini membuat tenaga rakyat tersedot pada bidang agraris dan aktivitas maritim lambat laun mulai ditinggalkan. Setelah VOC selesai, masa pemerintahan Hindia Belanda juga semakin menyuramkan dunia maritim kita. Mulai dari tanam paksa, penguasaan pelabuhan, sampai pada kerja paksa pembangunan benteng-benteng pertahanan dan jalan raya Anyer-Pamanukan pada masa gubernur Daendels (1762-1818) yang menguras tenaga ribuan pribumi jawa. Tidak hanya rakyat, Belanda juga menggunakan penguasa-penguasa untuk menunjang kelancaran kebijakannya. Pemerintah Hindia Belanda memaksa penguasa-penguasa untuk mengerahkan rakyatnya untuk menjalankan kebijakan. Pemimpin pribumi, seperti raja, bupati, dan camat menjadi agen dari sistem tanam paksa.

Redupnya Kemaritiman Pekalongan?

                Bandar atau Pelabuhan Pekalongan sudah ada  sejak sekitar 1500 tahun yang lalu. Pada perjalanannya, Pekalongan menjadi kota pelabuhan, menjadi salah satu daerah lalu lintas perdagangan Pulau Jawa dengan jaringan perdagangan kepulauan nusantara pun juga perdagangan internasional. Menjadi salah satu kota pelabuhan yang turut memperkuat kestabilan ekonomi antar kerajaan turut menurut di Nusantara, bersama juga pelabuhan-pelabuhan lain dijawa maupun luar Jawa (semisal pelabuhan Demak, Jepara, Tuban, Banten, Aceh, Makasar (Bugis), Maluku dan lainnya). Konon sejak abad 9-11 M, pekalongan sudah menjadi Pemasok komoditas kain batik untuk diperdagangkan antar pulau dan negara. Pelabuhan Pekalongan menjadi salah satu semacam tempat pengatur (keluar masuk) pendistribusian hasil bumi daerah (beras, palawija, rempah-rempah, dan hasil tanaman lainnya) dan hasil laut dari berbagai daerah termasuk Pekalongan itu sendiri. Belum ada penelitian sejarah yang mendetail dan komprehensif (sejauh yang saya tahu) terkait penguasaan kerajaan-kerajaan di Jawa akan wilayah Pekalongan. Konon Sejak abad 8 sampai abad 16 M, konon Pekalongan (berikut pelabuhannya) termasuk daerah yang masuk dalam kekuasaan dari beberapa kerajaan masa itu (Mataram Kuno, Majapahit, Demak, Cirebon, Mataram Islam). Namun dilihat dari wilayahnya yang jauh dari pusat kerajaan-kerajaan tersebut, perkembangan Daerah Pekalongan bisa dikatakan cenderung independent (mandiri).

Seperti yang dijelaskan diatas, datangnya para penjajah kolonial di Jawa, membuat kekacauan jaringan Nusantara. Kota-kota pelabuhan di Jawa mengalami ganggungan yang  serius, kedaulatannya diambil alih untuk kepentingan kolonial, salah satunya termasuk Pelabuhan Pekalongan yang masa itu terletak dimuara sungai Loji/Pekalongan. Sekitar tahun 1750 an, VOC membangun Benteng Pekalongan (Fort Peccalongan) didaerah bataran sungai Loji Pekalongan. Sisa bangunan dari Benteng ini masih bisa kita lihat sampai sekarang, yaitu yang sekarang difungsikan menjadi Rutan II Pekalongan. Tujuan pembangunan benteng ini, difungsikan untuk para pasukan VOC mengawasi Kegiatan Pelabuhan Pekalongan dan Kapal-Kapal yang melalui Sungai Loji. Betapa mirisnya aktifitas maritim kita masa itu (perdagangan laut, pelayaran, penangkapan ikan, dan lainnya), dipelabuhan sudah diawasi pasukan VOC, sedang dilaut juga diawasi oleh angkatan laut VOC. Dan sekarang, beberapa kalangan menyatakan benteng tersebut sebagai simbol kejayaan Pekalongan? Dan saya juga bertanya-tanya kenapa pula benteng ini menjadi salah satu unsur logo kota Pekalongan?

Pelabuhan yang dulunya tempat transaksi (pintu gerbang) perekonomian yang terbuka, kemudian dimonopoli oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC), Aktifitas laut (pelayaran, perdagangan, dan penangkapan ikan) dibatasi bahkan dilarang, para pribumi diarahkan untuk mengolah tanah pertanian dan perkebunan itupun dengan sistem paksa yang hasilnya harus dijual (diserahkan) kepada VOC, tidak boleh dijual kepada pedagang lain. Batik ditahun 1700an juga dijadikan komoditi perdagangan lokal maupun ekspor oleh VOC, yang produksinya menyerap tenaga kerja pribumi. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat jauh dari aktifitas maritim dikemudian harinya.

Setelah VOC dibubarkan, masa selanjutnya diteruskan Pemerintah Hindia Belanda yang pada intinya sama saja dengan VOC bahkan lebih menyengsarakan. Proyek Pembangunan jalan Anyer-Panarukan sekaligus benteng-bentengnya pada masa Gubernur Daaendels juga memaksa tenaga ribuan pribumi, termasuk pribumi Pekalongan yang juga dilalui proyek jalan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda membangun (merenovasi) pelabuhan yang dulu dan diresrmikan penggunaannya pada tanggal 31 Mei 1859 sebagai pelabuhan umum untuk kepentingan ekspor-impor. Namun di kawasan ini, mayoritas kegiatan ekonomi hanya dilakukan oleh orang Cina, Arab dan Eropa yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, belum ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang sampai menyentuh Pelabuhan Pekalongan, ditahun-tahun awal pemerintahan Soekarno hingga transisi ke pemerintahan Soeharto masih diwarnai  pergolakan politik yang tidak stabil, hingga bisa dikatakan Pelabuhan Pekalongan tidak berfungsi untuk kegiatan niaga. Baru pada tanggal 20 Agustus 1973 Direktur Jenderal Perikanan mengirim surat kepada Menteri Perhubungan yang isinya pengajuan permohonan supaya status Pelabuhan Pekalongan menjadi pelabuhan khusus Perikanan, pada tahun 1978 terjadi peningkatan status pelabuhan sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara. Ditahun-tahun selanjutnya, Pelabuhan Perikanan Pekalongan mencapai puncaknya dengan hasil tangkapan mencapai 70 ribu ton per tahun. Siapa sangka pula, Pelabuhan Perikanan Pekalongan hanya didominasi oleh para pengusaha perikanan yang datang dari Bagan Siapi-api mulai pada tahun 70-an hingga sekarang menetap di Pekalongan. Sebut saja nama-nama besar industri perikanan ini: Bintang Mas Wibawa, Anugerah Timur, Multi Wahana Wibawa, Sinar Lestari, Charly Group, Charytius, Along Jaya, dan lain-lainnya. Merekalah yang membuat industri Perikanan di Pekalongan maju pesat, merekalah yang mengharumkan nama Pekalongan sebagai Kota Perikanan hingga dikenal keseluruh pelosok Indonesia. Ternyata Pribumi Pekalongan disekitar Pelabuhan hanya cukup puas dengan menjadi kuli-kuli para pengusaha perikanan dari Bagan Siapi-api saja. Hanya sedikit pengusaha Pribumi yang berhasil, seperti H. Riyanto Chaidiri dengan perusahaannya yang bernama Marcopolo, H. Ani Martopo (Binatur), H. Slamet Munawar (Cahaya Surya), H. Hartono (Nusa Jaya). Beberapa orang inilah yang sekarang berusaha keras bergeliat membangun industri perikananan, mereka mencintai laut, mencintai semangat kerja nelayan, dan mempertahankan kemaritiman Kota Pekalonngan. (MIM)

(Diolah dari berbagai sumber).

Salam menulis, Salam Pekalonganisme

25 April 2014

Pembangunan Peradaban di Era Globalisasi: Antara Sains dan Kearifan Lokal

5:28 PM
Pembangunan Peradaban di Era Globalisasi: Antara Sains dan Kearifan Lokal
Oleh: Andiga Kusuma Nur Ichsan*
  
Kritik atas sains
Jika berangkat dari beberapa penulis yang sebelumnya mengatakan bahwa kemajuan sebuah peradaban bangsa dikarenakan penggunaan sains rasa-rasanya terlalu naif bagi kita jika terlalu mendewa-dewakan sains. Meskipun pada hakikatnya saya pribadi juga bercita-cita menjadi peneliti, otomatis hidup dan mati saya selalu berkaitan erat dengan sains terutama filsafat ilmu. Terlepas dari cita-cita saya tersebut saya mau mencoba memberikan opini bahwa sains bukanlah hal yang paling hebat dan yang paling benar, tetapi 2 hal yang istimewa dari sains adalah a) bersifat terbuka dan belajar dari apapun dan b) mempunyai mekanisme koreksi/memperbaiki kesalahan yang sistematik, sehingga sudah menjadi hal yang umum dimana teori-teori hasil sains selalu direvisi dan diperbaiki secara terus menerus untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Lalu pertanyaannya mengapa saya tidak terlalu begitu mendewa-dewakan sains? Mungkin dari berbagai literatur yang saya baca, saya menyimpulkan  ternyata sains tidak dapat menjelaskan semua hal, sebut saja contoh yang paling gampang adalah agama.  Adapun hipotesis yang saya dapat bahwa sains sangat bersifat materialistik dan asumsi-asumsi yang dibangun berangkat dari logika sederhana sehari-hari (commonse sense). Padahal dunia tidak semudah dan sesederhana yang dijelaskan oleh sains.

Di bawah payung sains terutama melalui pakar-pakarnya yang terkemuka sebut saja Descartes, Newton, Einstein dkk , sains dan teknologi mendapatkan fondasi yang kokoh dan efektif: matematika dan fisika-mekanis. Dengan itu, sains dan teknologi berkembang pesat, dan bersama sistem birokrasi plus profesionalismenya, ia  telah mengubah dunia manusia hingga seperti sekarang ini. Sayangnya, di sisi lain kerangka modern ini juga membawa dampak dan berbagai kepincangan. Ketika sains berfokus pada pertanyaan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana”, hati berfokus pada “untuk apa”. Ketika sains berfokus pada “bisakah” untuk dilakukan, hati berfokus pada “pantaskah untuk dilakukan”. Jadi tak pelak ketika terjadi PD (Perang Dunia) 1 dan PD2 dimana sains berselingkuh dengan politik, dia menjadi alat yang dimanfaatkan untuk menghancurkan negara yang satu dengan yang lainnya. 

Kembali kepada pemikiran bahwa sains mampu menciptakan peradaban yang modern seperti saat ini saya rasa ada benarnya juga. Mengapa sains layak untuk tetap diprioritaskan? Mungkin karena pembangunan sains memang men-support-nya, sebut saja sifatnya yang “terbuka”, koreksi diri secara “sistematik”, hasil empris dan materialnya yang “jelas”, dan terakhir metode pengukuran yang “objektif” dan “transparan” secara publik. Lalu  benarkah barat bisa semaju ini karena sains?  Saya pribadi masih bingung membuktikannya, tapi satu hal yang saya yakini bahwa tolak ukur kemajuan peradaban adalah mentalitas modern. Apa itu mentalitas modern? Ya sebuah mental dan sifat otonom (bebas dan dewasa) baik dari segi pemikiran dan perbuatan, karena pada hakikatnya sifat otonom bisa dijadikan sebagai sifat patokan/ukuran ke-dewasa-an (universality accaptable). Ada yang menganggap bahwa menjadi modern seolah-olah menjadi seperti barat, secara de facto mungkin saja benar, tapi yang perlu digaris bawahi disini bahwa sains tidak identik dengan barat. Mengapa sains berkembang di barat adalah fenomena kebetulan sejarah terutama ketika terjadi era renaisance (Sugiharto, 2013).

Pembentukan Karakter Pembangunan: Wacana Kearifan Lokal
Jika beberapa orang sebelumnya mengatakan perlunya membangun mindset pembangunan baik dengan membaca dan berdialektika dengan gagasan-gagasan tokoh besar dunia, saya sangat setuju dengan argumentasi tersebut. Apalagi pengutipan atas pendapat Prof Soedjatmoko bahwa kita harus melakukan penyesuaian kreatif dalam proses modernisasi Indonesia; penggabungan akar budaya dan modernitas inilah yang akan melahirkan blue print masyarakat modern Indonesia.

Menjelang era globalisasi sudah tidak ada waktu lagi untuk memperdebatkan (pro-kontra) kehadirannya. Cepat atau lambat dia pasti akan datang. Era globalisasi adalah era yang sangat mengedepankan paham liberalisme, paham yang menjadikan nilai kebebasan individual sebagai dasar dari kehidupan. Dalam bidang ekonomi, globalisasi sering diartikan sebagai liberalisasi ekonomi atau liberalisasi perdagangan. Melalui kerangka pemikiran ini maka seluk beluk perekonomian akan menjunjung tinggi pada era persaingan, persaingan global tentunya. Negara harus siap untuk melakukan persaingan dengan negara lain melalui kompetisi unggul yang dimiliki oleh masing-masing negara. Seluruh sumber daya baik alam ataupun manusia harus dioptimalkan dan dipersiapkan agar memilki daya tawar (bargaining) yang sangat kuat.

Semua sektor perekonomian harus mulai dibangun dan dioptimalkan terutama sektor rill. Hal ini mengingat betapa strategis dan pentingnya sektor rill bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Indonesia akan mendapat peluang dan tantangan dari keberadaan persaingan global tersebut. Tak dapat dipungkiri, pertumbuhan perekonomian di Indonesia sekarang masih ditopang oleh sektor perbankan dan terjadi keminiman partisipasi dari sektor rill. Selain itu, permasalahan-permasalahan yang terjadi menjadikan suatu tantangan dalammengembangkan dan memajukan Indonesia dalam periode liberalisasi ekonomi.

Dalam menjawab tantangan tersebut maka Indonesia harus menoleh kembali pada kearifan lokalnya. Saat ini banyak negara yang telah menjadi maju karena tetap berpegang teguh pada kearifan lokalnya sebut saja negara Jepang dan China. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal tidak muncul semerta-merta, tetapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan masyarakat.

Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Beberapa contoh dari kearifan lokal (local wisdom) yang telah tertanam kuat dan membudaya di Indonesia adalah sifat gotong royong, telaten dan pekerja keras. Yang kalo saya boleh berkata jujur tersirat dalam perumusan pancasila oleh para founding father kita

PR Bersama
Sekali lagi ijinkan saya mencoba mengutip pendapat dari Prof Soedjatmoko dalam karyanyaThe Primacy of Freedom (1985), ketika masih menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo beliau mengatakan: “Seandainya kita mau menyimak pengalaman pada tahun-tahun yang lampau secara cermat jelaslah bahwa, sebagai akibat dari terlalu besarnya bobot dan nilai yang mereka berikan kepada pertumbuhan dan tahapan-tahapannya serta dengan ketersediaan modal dan keahlian, para teoritisi Ilmu Ekonomi Pembangunan kurang memperhatikan masalah-masalah kelembagaan dan struktural sehingga mereka pun gagal memahami besarnya pengaruh kekuatan-kekuatan historis, budaya, dan keagamaan dalam proses pembangunan."

Atas latar belakang saya yang mahasiswa Ekonomi Pembangunan (yang biasanya sering disebut mahasiswa Ilmu Ekonomi – seperti UI) saya pribadi melihat banyak sekali teori-teori sains di bidang Ilmu Ekonomi (economics) yang notabene berasal dari barat sering kali tidak mampu menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi di Indonesia (dan NSB pada umum-nya). Lebih ironi lagi kadang kala sering terjadi distorsi ketika teori-teori dari barat tersebut diimplementasikan dalam pengambilan kebijakan. Pembangunan teori baru dari dalam negeri yang pasti sangat sulit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit (modal, pemikiran, energi, waktu dsb). Tetapi seperti yang awal-awal telah dijelaskan mentalitas modern adalah kunci eksistensi sebuah negara dalam membangun peradaban. Jika kita bisa mengembangkan kearifan lokal yang kita miliki dan membangunnya (elaborate) dengan kerangka berpikir sains, bukan tidak mungkin pengejaran ketertinggalan dan penjemputan takdir peradaban dapat lebih cepat tercapai.

Referensi
Capra, Fristjof. 2000. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Catatan Kuliah Filsafat Ilmu Prof Bambang Sugiharto 2013
Soedjatmoko. 1985. The Primacy of Freedom. New York.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Todaro, Michael P., dan Stephen C. Smith. 2008. Economic Development 9th Edition. New York. Worth Publishers.

Selamat Hari Buku, dan Selamat atas Penghargaan “Socrates Awards”-nya Kota Surbaya 

*Penulis merupakan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga 2011 dan Aktivis HmI Komisariat Ekonomi Airlangga Surabaya

24 April 2014

Festival Kalonganan, Ngelemprakan Budaya Neng Museum Batik

7:46 PM
Festival Kalonganan, Ngelemprakan Budaya Neng Museum Batik
PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Festival Kalonganan kembali menyajikan event budaya Pekalongan dengan tema "NGLEMPRAKAN BUDAYA NING MUSEUM BATIK" setelah sebelumnya sukses menggelar acaranya yang pertama dengan tajuk Jalan-jalan Heritage Kampung Arab Pekalongan. Acara ini akan dikemas dalam sebuah talk show tentang Sejarah Perjalanan Batik Pekalongan dengan narasumber Bapak Achmad Ilyas.

Selain itu, acara ini juga akan menampilkan Stand-Up Comedy Pekalongan untuk memeriahkan Festival ini. Bagi yang penasaran dan tidak ada acara, bisa langsung datang ke Pelataran Museum Batik Pekalongan, Sabtu, 26 April 2014 pukul 19:00 WIB - selesai. GRATISSSS

Mari mengenal Pekalongan lebih dalam, Salam Pekalonganisme.com

21 April 2014

Siti Ambariyah Pekalongan, Kartini, dan Wanita Nusantara

8:23 PM
Siti Ambariyah Pekalongan, Kartini, dan Wanita Nusantara

PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Kita sering mengenal Kartini sebagai wanita yang hebat, Pahlawan Indonesia, pejuang yang gigih dan berani, pembela dan pejuang kesetaraan, pencerah pendidikan Indonesia, inspirator wanita Indonesia, dan lain sebagainya. Memang hal tersebut sangatlah mungkin dan wajar, karena jauh sebelum Kartini lahir berikut perjuangannya, banyak tokoh wanita Indonesia-Nusantara yang mempunyai peran penting dan jasa yang luar biasa untuk bangsa kita.



Di Pekalongan, kita mengenal nama Siti Ambariyah yang makamnya terletak di desa Bukur, kecamatan Bojong, masyarakat sekitar menyebutnya Ibu Agung Siti Fatimah Ambariyah. Siti Ambariyah ialah seorang putri dari Ki Ageng Rogoselo, seorang wali, ulama, dan pejuang nusantara yang makamnya berada di Desa Rogoselo Kecamatan Doro. sebuah kisah yang berdasar dari cerita turun temurun menuturkan, bahwa Ki Penatas Angin, salah satu Pangeran dari Mataram Islam diutus oleh Sultan Agung untuk tapa brata dan belajar kepada Ki Ageng Rogoselo (Ayahanda Siti Ambariyah). Ki Penatas Angin belajar kepada Ki Ageng Rogoselo, bertujuan untuk memperluas ilmu Agama Islam sekaligus belajar ilmu kaluragan dan strategi untuk melawan penjajah (Belanda).

Suatu hari, Ki Penatas Angin merasa katresnan dan ingin menikahi Siti Ambariyah (putri gurunya, Ki Ageng Rogoselo), namun siapa sangka Siti Ambariyah lebih dulu memilih untuk berjuang melawan penjajah sekaligus menyebarkan syiar Islam dan pengetahuan di wilayah lain, yaitu di daerah Bojong (Pekalongan bagian barat). “Lebih dulu memilih berjuang demi kedaulatan nusantara, pendidikan, dan syiar agama dari pada dinikahi oleh salah seorang Pangeran”, sebuah pilihan yang sangat bijak dari seorang wanita. Siti Ambariyah pun dikenang oleh masyarakat Pekalongan sebagai wanita sholehah, penuh ketegaran, welas asih dan perjuangan. Setiap tahun diadakan peringatan haul di makamnya di desa Bukur, Bojong, Pekalongan.

Begitulah, jauh sebelum istilah-istilah emansipasi (yang kurang jelas konsepnya) diimpor dari “Barat”, wanita-wanita nusantara sudah sejak dahulu menunjukkan peran penting wanita dan kegigihannya. Seperti pahlawan Indonesia dari Aceh, Tjut Nja’ Dien, seorang tokoh wanita yang memimpin pasukan gerilya melawan penjajah di Aceh, strateginya sampai membuat pasukan Belanda kalang kabut. Adapula Nyai Ageng Serang di Kulonprogo Yogyakarta, monumen patung Nyai Ageng Serang naik kuda dengan satu tangannya memegang tombak, berdiri kokoh di tengah kota Wates Kulonprogo untuk mengenang perjuangannya. Dan pastinya masih banyak lagi wanita-wanita nusantara yang berperan penting, dan adapula yang sejarahnya kabur ditelan waktu.

Perkiraan saya, Kartini bukanlah satu-satunya wanita Indonesia yang punya peran penting bagi Indonesia kita, bahkan saya lebih cenderung mengamini kalau Kartini mewarisi karakter wanita-wanita Indonesia pendahulunya. Kemungkinan pencitraan negatif (semisal soal posisi wanita hanya di sumur, dapur, kasur) yang sering dilabelkan pada wanita Jawa atau wanita nusantara hanya efek-efek dari kolonialisasi di Indonesia. Kita tahu, dari semua penjajah yang menjajah Indonesia, sering menerapkan sistem kerja paksa pada rakyat Indonesia guna mengejar efektifitas dan keuntungan yang banyak. Orang-orang luar (para penjajah) ini hanya peduli dengan kekuatan otot yang kemudian hanya memakai lelaki dan wanita dipandang sebelah mata. Hal ini, yang mungkin menjadikan konstruksi cara berpikir di kemudian harinya.

Siti Ambariyah hidup disekitar tahun 1700an, dan Kartini hidup di tahun 1879-1904 Masehi. Kartini hidup pada masa yang sudah kekinian (modern), di mana sudah ada tradisi penulisan berbagai macam peristiwa, sedang pada masa Siti Ambariyah sangat minim tradisi penulisan. Akan tetapi kebesarannya (Siti Ambariyah) terekam oleh ingatan kolektif masyarakat (tradisi oral/cerita turun-temurun). Mereka berdua memiliki pola berpikir yang sama, mereka punya karakter yang kuat, bijak, welas asih, dan kepedulian terhadap sesama. Begitupun juga pejuang atau tokoh wanita nusantara lainnya.

Berbanggalah menjadi pewaris karakter wanita nusantara, berbanggalah menjadi wanita Pekalongan (karena mempunyai Ibu Agung Siti Fatimah Ambariyah), berbanggalah menjadi wanita nusantara. Karena saya yakin wanita nusantara ialah wanita yang kuat, wanita yang penuh dengan kebijaksanaan, wanita yang bermartabat, dan wanita yang penuh kasih sayang. Semoga bermanfaat, dan semoga muncul tulisan yang lebih mendalam. Mari menulis.(mim)

Salam Pekalonganisme.com

19 April 2014

Pasar Tiban, Wisata Belanja Alternatif Warga Pekalongan

3:25 PM
Pasar Tiban, Wisata Belanja Alternatif Warga Pekalongan
PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Pasar Tiban telah menjadi daya tarik tersendiri di Pekalongan, baik kabupaten maupun kota. Layaknya pasar tradisional yang menggunakan hitungan pasaran jawa sebagai hari hidup aktivitas transaksi, Pasar Tiban juga telah memiliki jadwal rutin berupa hari dan tempat diselenggarakannya pasar tersebut.

Tidak seperti lazimnya pasar yang memulai aktivitas di pagi hari, Pasar Tiban justru memilih waktu santai di sore hari hingga malam, waktu dimana warga Pekalongan sebagian besar telah mengakhiri aktivitas sehari-harinya. Meskipun begitu, Pasar Tiban berbeda dengan Pasar Pedagang Kaki Lima. Perbedaan ini terletak pada lokasi Pasar Tiban yang berpindah-pindah setiap harinya mengikuti jadwal yang telah disepakati oleh paguyuban.

Sejarah Pasar Tiban tidak mempunyai asal-usul kronologis yang pasti dalam melatarbelakangi lahirnya Pasar Tiban. Namun beberapa pendapat menyatakan bahwa Pasar Tiban Pekalongan pertama kali diadakan di Kecamatan Wonopringgo. Pasar ini digagas oleh paguyuban pedagang Pasar Selasa Pagi di Wonopringgo yang merupakan pasar dadakan di komplek Ponpes At-Taufiqy.

Nama pasar ini sendiri berasal dari kata “ketibanan” atau "ketiban"  yang mengartikan bahwa lokasi pasar berpindah-pindah layaknya arisan. Sehingga oleh masyarakat dikenal dengan nama Pasar Tiban atau ParTi. Pasar tiban menjadi popular lantaran menjadi alternative wisata belanja malam dan bermain bagi anak-anak. Barang yang dijualpun beragam mulai dari makanan kecil, pakaian hingga perkakas rumah tangga, tentunya dengan harga yang miring.

Uniknya, kini hampir setiap kecamatan di Kabupaten dan Kota Pekalongan memiliki Paguyuban Pasar Tiban yang telah memiliki jadwal keliling rutun di setiap desa yang telah ditentukan. Tak banyak yang sadar akan manfaat dari pasar ini, namun Pasar yang diadakan seminggu sekali di setiap desa ini dapat mendatangkan keramaian dan perputaran uang ditempat yang sehari-harinya sepi di malam hari. Sebuah alternatif wisata belanja baru yang tercipta bagi warga yang malas bepergian jauh di malam hari, dan yang lebih penting, Pasar Tiban merupakan pasar khas Pekalongan yang jarang bisa ditemui di luar Daerah Pekalongan. (aka)

Salam Pekalonganisme.com

18 April 2014

Pit Jepang, Sepeda Kebanggaan Warga Pekalongan

1:08 PM
Pit Jepang, Sepeda Kebanggaan Warga Pekalongan
PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Pit Jepang, begitulah warga menyebutnya untuk sebuah sepeda yang sangat dibanggakan di kota ini. Sebelum maraknya istilah bike to work atau bike to school yang menggandrungi kebiasaan masyarakat dalam mengurangi efek polusi udara dan kemacetan, warga Pekalongan sudah terlebih dulu menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk menuju tempat kerja. Tidak terbatas pada kaloangan dewasa saja, Pit Jepang yang memiliki kerangka seperti Sepeda Jengki telah mempengaruhi pola bersepeda anak-anak sejak masih SMP atau bahkan SD sebagai kendaraan berangkat sekolah.

Pit yang diadopsi dari Bahasa Belanda dari kata "fiets" yang mempunyai makna sepeda (sepeda pancal) sedangkan Jepang merupakan asal negara pembuat sepeda ini telah mengalami perjalanan panjang sebelum ahirnya menjadi sepeda kebanggaan masyarakat Pekalongan. Dengan niatan sebagai oleh-oleh kepada sanak keluarga maupun untuk dipakai sendiri, tahun 1980-an, pedagang batik dari Pekalongan yang pergi menjajakan dagangannya di Jakarta pulang membawa sepeda bekas yang dibelinya dari Tanjung Priok. Ya, memang Sepeda Jepang ini merupakan sepeda bekas dari Jepang yang di ekspor ke Indonesia karena sudah tidak terpakai di negaranya.

Meskipun bekas, namun kualitas sepeda ini memang tidak diragukan lagi mengingat Masyarakat Jepang memang mempunyai kebiasaan yang telah membudaya dalam menciptakan suatu produk dengan kualitas terbaik agar harga diri mereka terjaga dan tidak mempermalukan dirinya dengan kegagalannya. Alhasil sepeda yang dibawa pedagang batik menjadi terkenal akan kualitas dan ketahanannya dalam masyarakat sekitar sehingga tak jarang tetangga maupun sanak keluarga memesan untuk dibelikan sepeda bekas tersebut.

Ketenaran Pit Jepang lama-kelamaan menciptakan sebuah fanatik terhadap sepeda sehingga sepeda bekas ini sekarang memiliki harga jual yang tinggi. Tak hanya itu, masyarakat juga mepersepsikan Pit Jepang sebagai sebuah investasi karena memang harga jual sepeda ini stabil dibandingkan sepeda dalam negri maupun buatan Cina. Bahkan, untuk merek-merek tertentu, Pit Jepang dengan onderdil yang masih original dapat dijual dengan harga yang hampir menyentuh harga baru sepeda dalam negri. Bagi pengagum sepeda ini, originalitas menjadi suatu hal yang menjadi prioritas.

Loyalitas Warga Pekalongan bahkan telah teruji dengan datangnya "Pit Deral" yang berasal dari kata Federal yang merupakan merek sepeda gunung di tahun 1990-an awal kemudian sepeda BMX. Namun trend sepeda tersebut tidak bertahan lama sehingga masyarakat kembali memilih Pit Jepang sebagai pilihan sepeda andalan. Bahkan di tahun 2010 berkembang sepeda fixed gear yang lazim disebut sebagai sepeda fixie serta sepeda lipat tidak dapat menggeser dominasi Pit Jepang di hati masyarakat.

Nyaman, kuat dan fleksibel, barangkali tiga poin tersebut yang menjadikan sepeda ini membekas di hati warga. Desain kerangka sederhana, namun enak dipakai jarak dekat maupun jauh, boncengan juga bisa. Buku, tas, kitab bahkan belanjaan dapat dengan mudah diletakkan di keranjang depan. Dan yang lebih penting, kerangka sepeda ini tidak menghalangi kenyamanan bersepeda meskipun orang memakai sarung atau rok. Faktor kenyamanan inilah barangkali yang menjadi kunci bertahannya Pit Jepang dari persaingan dengan sepeda jenis lain, selain faktor ekuitas merek yang telah melekat dalam hati masyarakat. Di waktu sore setelah Ashar hingga malam, Warga Pekalongan memang masih mempertahankan kebiasaan memakai sarung dan rok atau longdress bagi kaum hawa dalam aktivitasnya sehingga mereka tidak mengalami masalah dengan pakaiannya meskipun dalam keadaan bersepeda.

Jangan Bangga Jadi Orang Pekalongan tapi Lupa Pekalongan. (aka)

Salam, Pekalonganisme.com

17 April 2014

Pekalongan dari Masa ke Masa

4:59 PM
Pekalongan dari Masa ke Masa
PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Terletak di poros tengah (mylpaal) Pulau Jawa, di mana konon sekitar 1500 tahun yang silam sebelum mengalami proses sedimentasi (pendangkalan laut) yang panjang, daratan yang sekarang  menjadi wilayah administrasi Kota Pekalongan masih berupa lautan. Dalam peta gugusan pantai kuno disebutkan bahwa wilayah-wilayah pegunungan pedesaan seperti Bandar, Doro (wilayah Pekalongan Selatan), dulunya masih berupa pantai. Kedalaman pantai kuno masa itu mencapai sekitar 150 meter, sehingga memungkinkan kapal-kapal seperti jung atau cadik yang seperti digambarkan dalam relief Candi Borobudur bisa berlabuh, sangat besar kemungkinannya dulu wilayah ini menjadi pelabuhan kuno yang besar, yang menjadi pintu masuk persebaran dan jalur perdagangan kuno antara Jawa dengan negeri luar (Cina, India, Arab).

Kata Bandar memang kalau kita runut dari artinya ialah tempat berlabuh (pelabuhan). Selanjutnya ada wilayah Buaran yang terletak dibawah disebelah utara Doro (sekarang, Buaran menjadi perbatasan antara Pekalongan kota dan kabupaten), Buaran berasal (dekat) dari kata Pabuaran yang kalau diartikan juga pelabuhan. Terletak di tengah Pulau Jawa, pastinya wilayah ini sangat strategis jika dijadikan pintu masuk ke Pulau Jawa, menjadi tempat pertemuan manusia antar wilayah dari sekitarnya dan dari luar Jawa itu sendiri. Tempat lalu lintas pertukaran dan perdagangan yang tak pernah sepi.

Sedang wilayah bagian selatan Pekalongan (daerah Dataran Tinggi Dieng/Banjarnegara) yang konon menjadi pusat Kerajaan Kalingga, kerajaan yang berdiri sekitar abad 6 M, yang menjadi cikal bakal raja-raja keturunan Sanjaya dan Syailendra. Sanjaya yang lantas mendirikan Kerajaan Mataram Kuno, dan Borobudur itu menurut para sejarawan dibangun pada masa Syailendra. Bakal calon Kerajaan Kalingga yang bermigrasi dari India tak mungkin seujuk-ujuk berada di Dataran Dieng (kalaupun daerah dataran tinggi Dieng memang dulunya pusat Kerajaan Kalingga) tanpa melewati pintunya Jawa bagian tengah, yaitu Pekalongan. Adapula para sejarawan masih memperkirakan keberadaan ibukota kerajaan Kalingga itu terletak disekitar antara Pekalongan dan Jepara.

Pada abad 12 M, dalam naskah Wai-Tai-Ta dari Tiongkok, Cou-Ju-Kua menyebutkan bahwa Chepo (Jawa) disebut juga Poe-Chua-lung. Menurut perkembangan Sinologi dan bahasa, para ahli bahasa mengatakan bahwa Poe-Chua-lung sama dengan pekalongan, Poe-Chua-lung merupakan penamaan sebuah daerah pelabuhan di pantai utara Jawa pada masa dinasti Tsung. Pada abad 14, setelah mengalami proses sedimentasi beratus-ratus tahun, tecipta wilayah baru disebelah utara yang sekarang menjadi wilayah Kota Pekalongan. Datanglah para migran dan urban dari berbagai wilayah.

Tahun 1439 M, Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming singgah di Pekalongan. Dia menyebut Poe-Chua-lung dengan Wu-Chueh yang berarti pulau yang indah. Pertengahan abad 15 M, wilayah ini masuk dalam wilayah teritorial Demak Islam (setelah sebelum masuk dalam wilayah Kasultanan Cirebon) lantas wilayah pelabuhan ini berubah menjadi tempat pemukiman. Zona pemukiman berada dibantaran Sungai Loji dan Sungai Kupang, banyak dari komunitas Cina dan Arab membangun basis perekonomian di wilayah ini, di sisi lain juga pribumi Jawa sendiri. Persinggungan dari berbagai macam etnis bangsa yang terjadi, menciptakan berbagai macam akulturasi budaya yang menyesuaikan kehidupan bersama.

Masa penyebaran islam oleh Walisanga di Pulau Jawa, Pekalongan mempunyai berbagai kisah yang berkaitan dengan para wali. Daerah Suroloyo, sebuah daerah didekat Kecamatan Doro merupakan daerah yang diyakini menjadi tempat pertapaan, tempat memberi nasehat Punakawan terhadap Pandawa (hal ini dekat dengan pewayangan yang sering dipakai Sunan Kalijaga). Didekat daerah  ini juga ada petilasan Syeh Lemah Abang, yang lantas dijadikan nama untuk desa daerah tersebut (Desa Lemah Abang). Ada pula pesanggrahan Sunan Kalijaga di Desa Gending, sebuah desa di Kecamatan Wonopringgo. Nama “Gending sendiri dipakai untuk menyebut wilayah yang selalu ada bebunyian suara Gamelan. Masa Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung (abad 17 M) mengangkat Kyai Adipati Mandurareja sebagai Bupati Pekalongan. Sejak saat itu, Pekalongan masuk dalam wilayah Mataram Islam sampai masa kolonial.

Perlawanan terhadap kolonial di Pekalongan juga sangat gencar. Ki Penatas Angin pejuang sekaligus ulama yang ditakuti oleh tentara Belanda, selalu bergerliya melawan penjajah, makamnya berada di daerah perbukitan Rogoselo Kecamatan Doro. Siti Ambariyah, pejuang pun juga pendakwah wanita yang dimakamkan di daerah Bojong, Habib Ahmad di Sapuro, dan lainnya. Pekalongan konon juga beberapa kali menjadi tempat persinggahan pasukan gerliya Pangeran Diponegoro, yang konon Megono merupakan menu makanan yang menjaga stamina pasukan geriliya. Hingga pada masa gerakan revolusi 45, banyak aktifis revolusi kemerdekaan datang ke Pekalongan, untuk mengambil sokongan materil (dana revolusi) yang diberikan saudagar-saudagar Pekalongan yang dikenal dermawan.

Masyarakat Pekalongan bertumbuh kembang menjadi cosmopolit, di dalamnya berbagai macam etnis bergabung tetapi jarang bahkan tak pernah terjadi gesekan. Persinggungan budaya antar komunitas di dalamnya, melahirkan mentalitas yang mapan, kebudayaan yang saling melengkapi. Etos kerja yang tinggi dan kuat karena sejak dulu sudah terlatih dalam perdagangan. Pekalongan modern berkembang menjadi daerah industri yang cukup mapan. Industri Batik dan konveksi, merupakan salah satu penopang ekonomi dari sebagian masyarakat Pekalongan, disisi lain juga hasil laut (perikanan) bagi masyarakat pekalongan bagian utara dan pertanian dan perkebunan bagi masyarakat Pekalongan bagian selatan. Berbagai macam kesenian  juga berkesinambungan dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari sintren, jathilan, wayang, terbangan, dan sebagainya. Bahkan pada tahun 50an hingga akhir 80an ada sekitar lima gedung bioskop yang tersebar di wilayah Pekalongan, belum juga Bioskop Tobong (bioskop ditempat terbuka) yang seringkali diadakan masyarakat. Tradisi kuliner Pekalongan juga sangat khas, mulai dari Megono, Tauto, Garam Asem, Panggang Ayam dan sebagainya yang mempunyai cita rasa khas dan biasanya menyimpan simbol bermakna. Bahasa Jawa Pekalongan yang dikenal unik, tidak sekaku bahasa Tegalan dan sehalus Semarangan, bahasa Pekalongan berada di tengah-tengah keduanya.

Dari rentetan sejarah yang ada dan yang membentuk Pekalongan, tidakkah sangat disayangkan jika kita membiarkannya kabur dari ingatan kolektif kita? Tempat, peristiwa, tokoh penting dalam garis waktu kehidupan kita, akankah kita biarkan hilang tanpa jejak? Bukankah dari sejarahlah kita mendapat pelajaran bagi kehidupan kita semua baik sekarang dan anak cucu kita yang akan datang?. Pastinya kita semua akan sepakat bahwa sejarah sangat penting bagi kita, bahwa dengan sejarah kita bisa mengetahui diri kita, dari sejarah kita bisa belajar menjalani kehidupan, dari sejarah kita bisa mengukur dan meningkatkan kualitas hidup kita.

Untuk itu, dengan kapasitas memorizing yang terbatas, menuliskannya, merupakan salah satu cara yang tepat untuk menjaganya. Bukan hanya untuk sekedar klangenan melainkan sebagai pembelajaran, pemahaman, bahkan pedoman menjalani kehidupan.  Penjelasan saya akan garis waktu diatas, masih sebatas penggalan-penggalan tak detail. Dari sini saya berharap, muncul upaya dari kita untuk melakukan penggalian data, eksplorasi, penelaahan, dan penulisan sejarah kita bersama. (mim)

Mari menulis.
Salam, Pekalonganisme.com

16 April 2014

Pekalongan Kota Batik

1:22 AM
Pekalongan Kota Batik
PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Sekitar 15 tahun silam lebih atau kira-kira pertengahan tahun 90an, saya hampir setiap hari melihat ibu saya dan ibu-ibu lain di kampung saya yang setiap harinya memegang canting di tangan kanan, serta tangan kiri mereka memegang kain. Ya, mereka sedang membatik. Kala itu, saya belum tahu apakah sudah sekeras seperti hari-hari inikah orang-orang menggembar-gemborkan kalimat "Pekalongan Kota Batik!". 

Saya yang kala itu masih seumuran anak TK, sekarang lupa apakah pernah saya mendengar orang-orang mengucapkan kalimat itu dengan bangga seperti yang sering saya dengar sekarang. Sudah jelas, padahal di kampung saya dan kampung-kampung lain sekitarnya, tahun itu dan tahun-tahun sebelumnya, banyak orang Pekalongan ibu-ibu utamanya, melakukan sebuah tradisi, membudayakan, dan menjalani titahnya sebagai orang Pekalongan; Membatik.Hari ini, 15 tahun dari ingatan saya itu, setiap hari saya melihat dan membaca tulisan "Pekalongan Kota Batik", mendengar kalimat itu diucapkan, dan serta ikut meneriakkannya, pula saya bangga akan kalimat itu.

Hari ini, hari ini saya masih di kampung yang 15 tahun lalu ibu saya dan ibu-ibu lain di kampung ini setiap harinya membatik kain, lalu menjualnya ke pasar, atau jika hasil batikannya tak sempurna alias dalam istilah orang Pekalongannya disebut BS atau "Barang Sisa" maka batik itu mereka simpan sebagai koleksi atau mereka pakai sebagai pakaian keseharian. Mereka tak membatik mengikuti permintaan pasar. Mereka membatik karena membatiklah yang hanya mereka bisa lakukan. Nah, alasan inilah yang akhirnya menimbulkan pesimisme mereka tentang Batik. Apa pesimisme mereka tersebut?

Mereka, ibu-ibu pembatik itu dan juga ibu saya tak ingin jika kelak anak mereka hanya menjadi seorang pembatik, apalagi buruh pembatik (membatik karena menuruti permintaan pasar). Mereka berpikir bahwa membatik dan alias membuat Batik tak akan bisa menjadikan mereka naik pangkat secara stasus sosial. Pembatik tak bisa menjadi orang kaya, demikian istilah dangkalnya. Sampai akhirnya, pesimisme mereka itu menjadikan mereka tak mau mengajarkan kepada anak-anak mereka bagaimana cara membatik, pun bahkan sekedar bagaimana cara memegang canting dengan benar. Saya tak ngawur menuliskan hal ini, karena demikianlah yang ibu saya dan dua ibu-ibu lain ceritakan kepada saya dua hari kemarin sebelum saya menulis ini.

Hari ini, saya kira mindset mereka itu "berhasil". Hari ini saya tak bisa menemukan satupun ibu-ibu di kampung saya yang menjalani hari-harinya dengan membatik, apalagi mbak-mbak ibu-ibu muda. Saya sudah jauh dari usia anak TK, dan tak bisa menemukan pekarangan rumah yang berdiri di sana pohon mangga, pohon jambu, atau pohon rambutan, yang digunakan ibu-ibu pembatik untuk berteduh saat mereka membatik.

Membatik, di kampung saya hanyalah sebuah "cerita pahit" masa lalu para ibu-ibu. Dan, kini akhirnya saya bingung, kenapa hari ini saya masih merasa bangga dengan kalimat "Pekalongan Kota Batik".

15 April 2014
Simbangwetan, Indonesia.
Ditulis oleh Muhammad Khalid.

15 April 2014

Lambang Kota Pekalongan

6:09 PM
Lambang Kota Pekalongan
PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Kota Pekalongan memilki lambang yang telah disahkan sejak 29 Januari 1957 berdasarkan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Peralihan Kota Besar Pekalongan, yang kemudian diperkuat dengan Tambahan Lembaran Daerah Swantantra Tingkat I Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1958 seri B No. 11 dan telah mendapatkan persetujuan dari Penguasa Perang Daerah Teritorium IV dengan Surat Keputusan tanggal 18 Nopember 1958, Nomor KPTS-PPD/00351/11/1958. Peraturan Daerah ini juga disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan tanggal 4 September 1959, No. Des. 9/52/20.

Lambang Kota Pekalongan terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut:
  1. Berdasar kuning emas muda sebagai lambang sejahtera berisi lukisan “canting” memperlambang “Kota Batik”. Canting berwarna merah sebagai lambang hidup dan tangkainya berwarna hijau daun padi yang sedang tumbuh sebagai lambang kesejahteraan.
  2. Bermotif batik “ Jlamprang” memperlambang seni batik.
  3. Berdasar biru menggambarkan laut berisi 3 ( trias politica ) ikan berwarna putih perak di dalam jaring berwarna hitam yang berarti sejarah pertumbuhan asal mulanya Kota Pekalongan tumbuh karena tempat penangkapan ikan laut ( A- Pek- ALONG- AN).
  4. Perisai bertajuk lukisan benteng sebagai lambang Kota dengan 5 (Pancasila) menara, satu diantaranya yang ditengah merupakan pintu gerbang dan sedikit lebih tinggi dari yang lain, menggambarkan adanya satu sila yang menonjol, yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa‘. Yang berarti penduduknya beribadah. Benteng berwarna hitam bata lambang kekuatan.

Arti Lambang Kota Pekalongan di atas secara sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut:
  • Perisai: Dasar bentuknya adalah dua tameng (perisai) bulat ialah bentuk tameng Jawa asli.
  • Benteng: Daerah Kota Pekalongan dilambangkan dengan beteng Mataram, sebab Kota timbul dari beteng dan Pekalongan menurut sejarahnya semula termasuk wilayah Mataram. Warna hitam = batu, yang menggambarkan kekuatan.
  • Ikan dalam jaring: Lambang Kota yang asal mulanya tumbuh, karena tempat penangkapan ikan laut (A-PEK-ALONG-AN). Warna ikan putih = Perak, yang menggambarkan hasil yang berfaedah. Jaring berwarna hitam.
  • Warna Bitu: yang berarti samudera yang makmur.
  • Canting: Lambang Kota Batik.
  • Warna Canting: Merah melambangkan perdagangan batik yang hidup.
  • Warna Kuning: Warna padi lambang kesejahteraan.
  • Tangkai Canting: Motif batik Jlamprang berwarna hijau daun padi yang sedang tumbuh yang melambangkan senantiasa tumbuh ke arah kesejahteraan.


14 April 2014

Logo Kabupaten Pekalongan

4:54 PM
Logo Kabupaten Pekalongan
PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Kabupaten Pekalongan memiliki lambang resmi yang telah disahkan melalui Surat Keputusan DPRGR Kabupaten Pekalongan nomor 1/PD/DPRGR/II/1967 tentang Lambang Daerah tanggal 29 Agustus 1967 dan nomor 1/PD/DPRGR/II/1971 tentang Penggunaan Lambang Daerah tanggal 16 Pebruari 1971.

Lambang daerah Kabupaten Pekalongan berbentuk perisai bersayap dalam ukuran segi empat bujur sangkar dengan perbandingan panjang dan lebar 1:1. Dari atas ke bawah terdiri atas pattern berikut:
  • Bintang bersudut lima berwarna kuning emas.
  • Perisai tiga warna, berurutan dari kiri ke kanan kuning, sawo matang 9 coklat muda dan coklat tua). Ukuran luas warna coklat muda setengah luas perisai.
  • Ditengah perisai terlukis sebuah keris lurus terhunus berwarna hitam.
  • Laut biru dan ikan berwarna putih.
  • Padi warna kuning dengan daun berwarna hijau memangku perisai. Jumlah butiran padi sebelah kanan 23 biji sebelah kiri 22 biji jumlah keduanya 45 biji.
  • Pita teratur berlukiskan batik jlamprang berisikan 8 ceplok bungan.
  • Elar atau sawat (sayap berekpak) berwarna kuning bergaris hijau. Jumlah elar (bulu elar) sebelah kanan 9 helai sebelah kiri 8 helai, jumlah seluruh elar 17 helai.

Makna filosofis dari Lambang Kabupaten Pekalongan adalah sebagai berikut:
  1. Bintang, melambangkan Ketuhanan yang Maha Esa mencerminkan bahwa warga / penduduk Kabupaten Pekalongan meyakini dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Sudut Lima pada Bintang, melambangkan Pancasila. Masyarakat di Kabupaten Pekalongan meyakini bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam mengurus, mengatur dan membina daerah.
  3. Perisai Tiga Warna, melambangkan bahwa warga penghuni Kabupaten Pekalongan, terdiri dari warga negara yang berbeda asal, ras, kebangsaannya tetapi tetap bersatu padu. Warna kuning mewakili ras Tionghoa, coklat muda ras asli Indonesia, dan coklat tua mewakili ras Arab. Ras asli merupakan penghuni yang utama atau lajer (pokok). Dilukiskan di tengah perisai, melambangkan bahwa ras asli merupakan pihak yang merangkum kedua ras lainnya sehingga terjalain hubungan dalam kehidupan baik jasmaniah dan rohaniah.
  4. Keris, melambangkan jiwa patriotisme rakyat Kabupaten Pekalongan yang abadi, dalam membela dan membina serta membangun daerah maupun tanah air Indonesia.
  5. Laut dan Ikan, melambangkan bahwa sebagian kehidupan rakyat Kabupaten Pekalongan dari laut (nelayan).
  6. Padi Memangku Perisai, melambangkan kemakmuran daerah, serta merupakan sumber kehidupan serta makanan pokok rakyat. Jumlah butiran 45 biji melambangakan tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
  7. Pita Batik Jlamprang, melambangkan salah satu kesenian rakyat Kabupaten Pekalongan yaitu Batik Pekalongan yang merupakan kehidupan rakyat. Ceplok bunga berjumlah 8 melambangkan bulan Agustus.
  8. Elar (sawat), melambangkan cita-cita rakyat yang dinamis, cinta damai, menuju arah keagungan daerah dan peri kehidupan yang adil dan makmur serta lahir dan batin.

13 April 2014

Tauto Pekalongan; Kesatuan Indah Dari Keberagaman

8:03 PM
Tauto Pekalongan; Kesatuan Indah Dari Keberagaman
PEKALONGAN, Pekalonganisme.comTentunya orang Pekalongan sangat akrab dengan makanan yang satu ini, hampir di setiap jengkal wilayah Pekalongan, kita dapat menemukan warung ataupun pedagang keliling yang menjajakan soto yang berbeda dengan soto-soto dari kota lain di indonesia ini. Hampir semua lidah, baik dari kalangan elit maupun non-elite, baik etnis Jawa, Arab, maupun Cina yang tinggal di Pekalongan menerima dan suka dengan soto yang diramu dengan bumbu khasnya tauco goreng.


Biasanya di dalam sebuah warung Tauto, tak jarang kita menjumpai orang dari berbagai kalangan menyantap makanan ini dengan lahap sambil sesekali saling bersapa dan bercanda. Ya seakan tak ada sekat antara satu orang dengan yang lainnya, antara buruh dengan juragan, antara Jawa dengan Arab, antara Cina dengan Jawa dan sebagainya. Hanya dari suatu makanan, kita melihat sebuah keharmonisan antar-sesama.


Agaknya memang menarik, seperti sebuah obrolan tentang Tauto (Soto Pekalongan), yang diobrolkan penulis dengan seorang teman sekaligus guru, pada suatu malam yang dingin dan teringat Tauto Pekalongan. Mari kita sedikit menelisik dan mencari unsur-unsur “apa” yang ada di belakang Tauto (tauco soto) yang rasanya khas dengan kuah gurih agak encer berisi daging kerbau empuk, mie soun (mie putih yang lembut gemulai) yang ketika disantap saat soto masih panas dapat dipastikan membikin keringat segar mengucur penyantapnya.


Kita mulai dari Tauco yang menjadikan soto ini khas, bumbu tauco yang dikembangkan dan dipakai untuk bahan olahan makanan khususnya Tauto (tauco soto) sudah dalam bentuk digoreng. Banyak dari pengamat sejarah berpendapat bahwa tauco diperkenalkan dan dibawa ke nusantara oleh orang Tiongkok, dengan landasan hipotesa yang menyatakan bahwa budaya yang banyak mempengaruhi kuliner dunia diantaranya Tiongkok dan India. Sehingga banyak pula yang beranggapan bahwa tauto ini merupakan produk kuliner yang terpengaruh oleh India maupun Tiongkok. Sedang, Mie Soun (mie putih lembut gemulai), yang menjadi unsur wajib dalam soto, sangat dipastikan berasal dari Tiongkok, karena memang Tiongkok lah yang menemukan teknologi membuat mie.


Daging kerbau, yang menjadi isi wajib tauto Pekalongan, dalam benak saya muncul pertanyaan menelisik semacam ini, kenapa kok tidak daging Babi atau daging Sapi yang kebanyakan dipakai dalam makanan khas dari tiongkok? Justru daging kerbau yang dipakai untuk isi tauto? Saya kira ini bukanlah sebuah kebetulan. Jawaban yang muncul dalam benak saya kemudian, kalau tauto Pekalongan memakai daging babi yang biasa dipakai di Tiongkok, pastinya makanan ini tak bakal diminati oleh orang Islam yang menjadi mayoritas penduduk Pekalongan. Karena Babi dalam Syariat Islam, salah satu daging yang tidak boleh dimakan. Kalau begitu mengapa tidak memakai daging sapi, ini juga tidak dipilih. Saya  diingatkan oleh teman obrolan tauto malam itu; Karena sapi ialah salah satu simbol suci dalam agama hindu, jadi memakan daging sapi sama halnya dengan tidak menghormati kepercayaan agama hindu yang dulu dipeluk sebagian besar masyarakat Jawa. Sama seperti yang dilakukan oleh Sunan Kudus melarang masyarakat Kudus dan sekitarnya menyembelih Sapi untuk Qurban.


Sedang bumbu-bumbu yang melengkapi soto tersebut, mulai bawang putih, kemiri, merica, kapulaga, bawang goreng, dan lain-lain, bumbu-bumbu ini sangat condong  dengan unsur kuliner khas dari Arab. Masakan khas Arab biasanya sangat bercirikan dengan kelengkapan bumbu yang digunakan dan biasanya bercirikan gurih, pedas dan sebagainya. Lantas kita lebih condong berpikir bahwa berbagai macam unsur yang diramu dalam makanan khas Pekalongan (Tauto) ini, tidak hanya sebuah kebetulan semata, tidak hanya sekadar produk makanan yang dihasilkan dari akuluturasi dari berbagai entitas budaya, kalau ternyata unsur-unsur yang ada didalamnya seperti yang dijelaskan di atas. Akan tetapi tauto Pekalongan ialah sebuah manifestasi pemahaman bermasyarakat, bertoleransi, harmonisasi hubungan antar-manusia, antar-etnis golongan dan bahkan antar-agama. Hal tersebut ialah wujud dari pluralitas, insklusifitas dan cosmopolit-nya kebudayaan kita. Sebagai contoh Dalam hal ini, Tauto Pekalongan diramu dengan menyatukan unsur-unsur budaya yang berbeda seperti yang saya jelaskan diatas, kemudian dijadikan sebagai suatu makanan yang bisa dinikmati dan dihayati bersama, oleh lidah dan jiwa yang berbeda.


Kita berpikir bahwa Tauto bukan hanya sekadar makanan untuk memperkenyang perut, melainkan hasil Pola-pola yang dirancang oleh para pendahulu, para wali, para nenek moyang kita dalam mengajarkan ajaran dan memberi pemahaman kepada kita akan kebersamaan, toleransi dan saling menghormati. Nenek moyang kita memanifestasikan ajaran kedalam bentuk kesenian, kuliner, dan sebagainya sehingga ajaran tersebut mampu masuk dan dekat dalam relung kehidupan sehari-hari mayarakat, tidak hanya sekedar ungkapan teoritis maupun teks yang kaku dan sukar dipahami.(Mim)
Salam Tauto anget, salam jiwa tentram, salam kebersamaan, salam menulis.

Salam Pekalonganisme.