Pekalongan, Pekalonganisme.com
Nenek moyangku orang pelaut
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar
mengarung luas samudra
Menerjang
mbak tiada takut
Menempuh
badai sudah biasa
Masih
ingatkah dengan petikan lagu diatas? lagu yang biasa diajarkan guru kita dalam
kelas menyanyi dimasa TK sampai SD, mungkin sampai sekarang kita masih ingat
ya? Namun kira-kira apa yang terbersit dalam kepala kita, ketika mendengar
atau menyanyikan lagu tersebut? Apakah lagu tersebut menyadarkan (mengingatkan)
kepada kita akan sejarah kemaritiman masa dulu, atau kita sudah anggap lagu
tersebut hanya sekadar sebuah lagu? Atau bahkan kita tidak percaya kalau
nusantara punya sejarah maritim yang gemilang? Dan kaitannya dengan Pekalongan,
daerah yang terletak dipesisir pulau jawa, seperti apa perkembangan maritim
di wilayah ini, apakah Pekalongan layak juga dikatakan kota maritim?
Dalam
tulisan ini, saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, saya hanya
akan mengajak anda semua untuk mencoba membaca ulang sejarah perjalanan Pekalongan, terlebih khusus kaitannya dengan kemaritiman wilayah ini. Setelah
itu, silahkan anda sendiri yang buat kesimpulan. Bukan maksud untuk ber-klangenan (mengenang masa lalu yang indah), akan tetapi mari kita mengingat dan
mengambil pelajaran, selagi masih ada yang dapat kita eksplorasi dan pelajari,
karena bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan sejarah, bangsa yang
belajar dari sejarah.
Apa
si yang kita pahami dari kata maritim, Kemaritiman dan kekuatan maritim? Dan
apa untungnya mempunyai kekuatan maritim?
Maritim adalah segala hal yang berkaitan
dengan laut, mulai dari pelayaran dan perdagangan di laut, keamanan di
laut (angkatan laut), sampai pada infrastruktur yang berkaitan dengan laut.
Selain sebagai jalur perdagangan dan pelayaran antar wilayah (baik antar pulau,
benua, maupun antar negara), laut menyimpan berjuta sumber daya alam yang bisa
dijadikan penghidupan manusia. Dan kerajaan atau negara yang besar ialah negara yang
punya strategi kekuatan maritim, kekuatan maritim bukan hanya meliputi angkatan
laut saja, melainkan juga kegiatan ekonomi (pelayaran/perdagangan laut), dan
infrastruktur yang berkaitan dengan laut(teknologi kelautan, transportasi laut, pelabuhan atau bandar, strategi laut).
Bangsa
Indonesia menyebut wilayahnya sebagai “tanah air”. Secara harfiah, maka
Indonesia terdiri atas tanah dan air. Tanpa air, Bumi Indonesia tidak akan
dapat disebut tanah air, pun sebaliknya. Memang, Wilayah Nusantara terdiri dari
80% air, dan karena itu sudah sejak dulu sudah punya orientasi maritim. Tidak
ada pengaruh besar dari luar dalam pembentukan semangat maritim nusantara,
kesadaran akan geografi dan ekologi sekitar membuat para nenek moyang kita
sangat menggantungkan hidupnya pada laut. Namun, tidak berarti barang-barang
dagangan mereka hanya bersumber dari laut sehingga menutup akses dan sumber
daya agraris. Para pendahulu nusantara juga memperdagangkan hasil-hasil
pertanian, seperti cengkeh, lada, dan kayu manis yang menjadi hasil alam paling
diminati di Eropa dan Cina. Barang-barang ini diekspor hingga mencapai istana
dinasti Han di Cina Utara 2.000 tahun lalu, berikut juga ke Roma pada tahun 70
M, dan Mesopotamia pada ± tahun 1700 SM. (Amelia Rahmawaty, S. H. Int,
Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan Sejarah Indonesia,
http://www.fkpmaritim.org)
Pekalongan
Kuno
Semua
daerah dari kepulauan nusantara , dapat dipastikan punya pengalaman dan
orientasi Maritim, seperti disebutkan diatas bahwa nusantara sudah sejak dulu
memulai aktifitas maritim nusantara dan internasional, bahkan sejak sebelum
Masehi . Termasuk juga Kota-kota dipesisir Pulau Jawa, dan Pekalongan dalam
perjalanan sejarahnya merupakan daerah yang cukup punya andil dalam dunia
kemaritiman nusantara maupun internasional. Sekitar abad VII-VIII M, konon
wilayah Pekalongan kuno di bawah kekuasaan raja-raja keturunan dinasti Sanjaya
dan Syailendra. Wilayah Petungkriono dulu ialah salah pusat pemerintahan kuno,
sedang daerah Bandar merupakan pelabuhannya. Gugusan pantai masa itu memang di
wilayah-wilayah Pekalongan Selatan, seperti Doro, Kajen, dan sederetnya, sedang
Pekalongan Kota yang sekarang ini, dulunya masih berupa lautan. Kedalaman
pantai kuno ini mencapai sekitar 150 meter, sehingga memungkinkan kapal jenis
cadik yang seperti dalam relief candi Borobudur bisa berlabuh.
Hal
tersebut membuat Wilayah Pekalongan kuno ramai dengan lalu lintas perdagangan,
baik dari Arab, Cina, India, dan Melayu. Sedang kapal cadik sendiri, dalam
catatan sejarah dikatakan sebagai kapal yang dipakai para pelaut dari nusantara
abad VIII M selain untuk transportasi antar pulau, juga dipakai untuk misi
pelayaran perdagangan sampai ke India, Madagaskar, bahkan pelayarannya ke timur
sampai ke Hawai dan Selandia Baru. Kenapa dikatakan cadik, karena kapal ini
memakai cadik sebagai penyeimbang dan
pemecah ombak. Design kapal ini tidak terlalu besar, akan tetapi daya jelajahnya
sudah sampai sekitar 2000 mil. Sebuah teknologi perkapalan yang sangat canggih
dimasa itu, dan yang perlu digaris bawahi bahwa hal ini, jauh sebelum Eropa
mengenal kapal dan melakukan ekspedisi pelayaran untuk misi pencarian
rempah-rempah (penjajahan/kolonialisasi). Kalau anda mengunjungi Candi Borobudur,
sempatkan lah melihat relief Kapal Cadik ini. Dan kunjungilah museum kapal “Samuderaraksa”, sebuah kapal yang dibuat
sesuai dengan kapal cadik dalam relief. Kapal Samuderaraksa pernah melakukan ekspedisi “napak tilas
pelayaran abad ke 8 M” sekitar tahun 2003. Kapal Samuderaraksa berlayar tanpa
mesin dilengkapi dengan 2 layar tanjak, 2 kemudi, dan cadik ganda, mengarungi
samudra dengan tujuan Madagaskar, Cape Town, Ghana. Setelah berbulan-bulan
berada di lautan lepas, akhirnya Samudraraksa berhasil merapat di Pelabuhan
Tema, Accra, Ghana, 23 Februari 2004.
Abad
9 M sampai abad 16 M (masa kolonialisasi), kepulauan nusantara mempunyai
jaringan kekuatan maritim yang diitopang antar satu sama lain daerah (pulau) di
nusantara. Masing-masing pulau mempunyai kota-kota pelabuhan yang menjadi
sarana perdagangan dan transportasi antar wilayah (pulau). Disisi lain muncul
kerjasama antar masing kerajaan daerah dalam usaha pengamanan aktifitas laut
dan kestabilan ekonomi laut. Masing-masing kerajaan mempunyai armada angkatan
laut untuk menjamin keamanan jalur-jalur. Keadaan ini yang kemudian menjadikan
kemakmuran pada masing-masing daerah (kerajaan) di nusantara, disisi lain juga diuntungkan
dengan kondisi tanah nusantara yang relatif subur.
Sebuah
penjelasan dalam buku Pekalongan Inspirasi Indonesia, Dr. Kusnin Asa, merujuk
pada naskah cina kuno Wai-Tai-Ta, mengatakan bahwa pada tahun 1178 M Cou-Ju-Kua
(Masa dinasti Tsung) menyebutkan Chepo (Jawa) disebut juga dengan
Poe-Chua-lung. Konon dikatakan bahwa
Poe-Chua-lung merupakan daerah pelabuhan yang cukup besar yang berada ditengah
pulau jawa, para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa Poe-Chua-lung sama juga
dengan Pekalongan.
Alongan;
Mendapatkan Tangkapan (Hasil)
Asal-muasal
penamaan daerah Pekalogan yang sering diketahui dan dipakai khalayak umum,
banyak yang merujuk pada kisah yang meceritakan Bahurekso seorang bupati
pertama masa Sultan Agung Mataram Islam yang melakukan tapa kalong. Dari kisah
tersebut, konon lantas kemudian dijadikan untuk penamaan daerah ini. Namun
kalau kita mau menelisik lebih jauh terkait penamaan daerah ini, seperti yang
dilakukan oleh Suteja K. Widodo (ahli sejarah Universitas Diponegoro) dalam bukunya, Ikan Layang Terbang Menjulang, Suteja merujuk kitab Poerwa Lelana terkait
nama Pekalongan. Nama Pekalongan konon turunan dari kata along (sebuah kata yang
berkaitan dengan dunia kenelayanan) yang artinya; memperoleh hasil tangkapan dari pekerjaannya menangkap ikan di laut.
Along
dalam bahasa Jawa Kromo berarti pengangsalan, sampai sekarang, along merupakan
sebutan umum yang digunakan untuk menamakan hasil tangkapan laut dalam jumlah
besar atau banyak oleh masyarakat di kawasan pantai utara Jawa bagian tengah,
seperti di Demak, Jepara, Rembang sampai dengan Tuban.
Pada
akhir abad 14, setelah mengalami proses Sedimentasi (pengendapan laut) yang
panjang, terciptalah daratan baru yang lantas dikemudian hari menjadi kawasan
permukiman. Wilayah inilah yang sekarang menjadi wilayah kota Pekalongan. Akan
tetapi walupun mengalami proses sedimentasi, Pekalongan masih tetap
mempunyai pelabuhan, ini dibuktikan
dengan banyaknya para urban dan migran yang datang dari Arab dan Cina yang kemudian
membentuk kelompok dan pusat perdagangan di wilayah ini. Pada tahun 1439 M,
Laksamana Cengho dari Dinasti Ming singgah di Pekalongan, dia menyebut nama
Pue-Cha-Lung dengan Wu-Chueh yang artinya pulau yang indah.
Ketika
masa Kesultanan Cirebon berkuasa diwilayah Pekalongan, diangkatlah kepala
bandar pelabuhan menjadi kepala daerah
dengan nama Wu-hang . Pada masa Mataram Islam, Bahurekso, yang dalam beberapa
versi diyakini sebagai pendiri Kadipaten Pekalongan, adalah salah satu
"Panglima" Pasukan Sultan Agung. Bahurekso sebagai Panglima Armada
Maritim dalam perebutan Batavia dari cengkeraman VOC yang dipimpin Jendral Jan
Pieterson Coen. Sejarah mencatat penyerangan Sultan Agung ke Batavia terjadi
tahun 1628 – 1629. Waktu itu, Posisi Pelabuhan Pekalongan menggantikan Posisi
Demak dan Jepara sebagi Pusat Kekuatan Militer Laut dan Perdagangan, karena
Jepara dan Demak dihancurkan Jan
Pieterzoon Coen pada 1613, dan Pada 1619 Jan Pieterzoon Coen menaklukkan Sunda
Kelapa dan menggantinya dengan nama Baatavia.
Wilayah
Pekalongan, selalu menarik orang luar untuk mengunjungi daerah ini, disamping
Pekalongan sebagai wilayah regensi atau kotamadya yang dari dulu sudah
berkembang pusat produksi kain dan perdagangan, Pekalongan juga wilayah
keresidenan (residensi) yang terletak di Pantai Utara Jawa, merupakan salah
satu pusat pendaratan ikan yang keberadaannya sudah berlangsung lama (Suteja K.
Widodo, Ikan Layang Terbang Menjulang). Kawasan laut sekitar Pelabuhan Pekalongan ke sebelah timur sampai laut sekitar
kepulauan Karimunjawa sudah lama dikenal sebagai kawasan kaya ikan.
Masa
Kolonial dan Maritim Jawa
Pada mulanya, kedatangan
pelaut-pelaut Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda) dilandasi oleh
keinginan berdagang. Namun, karena melihat kesuburan dan kemakmuran nusantara
dan raja-rajanya yang kaya, keinginan tersebut kemudian berubah menjadi
kerakusan, sehingga bernafsu memonopoli kota-kota pelabuhan, perdagangan
nusantara, dan wilayah nusantara itu sendiri.
Menurut
Prof. Djoko Suryo guru besar ilmu sejarah Uiversitas Diponegoro, saat pertama kali datang ke
Jawa, pelaut Belanda, Cournelis de Houtman(1565-1599) terkejut dengan kesibukan aktivitas
perdagangan internasional disana. Perdagangan tidak hanya dilakukan oleh
penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Barat, Arab dan Cina. Sehingga, ia pun
menceritakan hal ini kepada pengusaha-pengusaha di Barat sekembalinya ia ke
Belanda, di sisi lain juga ketenaran rempah-rempah yang dimiliki nusantara sudah
diketahui dunia. Selain membawa “kabar” tentang nusantara yang letaknya
strategis dan memiliki lahan yang subur, kembalinya De Houtman ke Belanda juga
membawa rempah-rempah yang memberi keuntungan besar. Mengetahui hal tersebut,
penjelajah Belanda (lebih tepatnya perusahaan perdagangan) lainnya kemudian
ikut berlayar ke nusantara (Jawa) untuk membeli rempah-rempah (Amelia Rahmawaty,
S. H. Int, Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan
Sejarah Indonesia, http://www.fkpmaritim.org).
Kehadiran
Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC (1602-1799) kongsi dagang Belanda di Jawa
menjadi awal kemunduran kegiatan maritim di Jawa. Sejak awal, niat VOC berfokus
pada perdagagan. Untuk itu, dibutuhkan hasil pertanian agar dapat diekspor
sebanyak-banyaknya dan didapat semurah-murahnya untuk mengeruk keuntungan
maksimal. Oleh karena itu, strategi VOC adalah memaksa petani-petani (Jawa)
menanam komoditi yang laku dan memonopoli perdagangannya. Pemetaan yang lebih
jelas sebagai berikut.
Monopoli
perdagangan yang ditetapkan VOC membuat armada laut VOC menjaga laut-laut (dan
menguasai pelabuhan) Nusantara (Jawa) untuk menghindari terjadinya perdagangan
antara pribumi Nusantara dengan pedagang asing, terutama sekali Portugis dan
Spanyol. Raja-raja Nusantara hanya boleh berdagang dengan Belanda dan pedagang
lain yang telah mendapat izin dari VOC. Penjagaan laut membuat rakyat tidak
dapat melaut secara bebas karena laut-laut dijaga oleh kapal-kapal Belanda.
VOC
mewajibankan menggarap tanah dan menanam tanaman yang telah ditentukan
(komoditi yang menguntungkan seperti gula (tebu), kopi, dan nila (indigo))
untuk kemudian dijual kepada VOC dengan harga mahal. VOC memaksa orang Jawa
menjadi produsen pertanian, tetapi tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk
berdagang karena perdagangan dimonopoli oleh VOC. Sehingga, VOC menguasai
perdagangan dan pelayaran, sedangkan orang Indonesia(Jawa) menjadi petani kuli.
Yang
terakhir adanya kebijakan contingenten yang mewajibkan rakyat menyerahkan hasil
bumi sebagai pajak. Kewajiban-kewajiban ini membuat tenaga rakyat tersedot pada
bidang agraris dan aktivitas maritim lambat laun mulai ditinggalkan. Setelah
VOC selesai, masa pemerintahan Hindia Belanda juga semakin menyuramkan dunia
maritim kita. Mulai dari tanam paksa, penguasaan pelabuhan, sampai pada kerja
paksa pembangunan benteng-benteng pertahanan dan jalan raya Anyer-Pamanukan
pada masa gubernur Daendels (1762-1818) yang menguras tenaga ribuan pribumi
jawa. Tidak hanya rakyat, Belanda juga menggunakan penguasa-penguasa untuk
menunjang kelancaran kebijakannya. Pemerintah Hindia Belanda memaksa
penguasa-penguasa untuk mengerahkan rakyatnya untuk menjalankan kebijakan.
Pemimpin pribumi, seperti raja, bupati, dan camat menjadi agen dari sistem
tanam paksa.
Redupnya Kemaritiman Pekalongan?
Bandar atau Pelabuhan Pekalongan
sudah ada sejak sekitar 1500 tahun yang
lalu. Pada perjalanannya, Pekalongan menjadi kota pelabuhan, menjadi salah satu
daerah lalu lintas perdagangan Pulau Jawa dengan jaringan perdagangan kepulauan
nusantara pun juga perdagangan internasional. Menjadi salah satu kota pelabuhan
yang turut memperkuat kestabilan ekonomi antar kerajaan turut menurut di
Nusantara, bersama juga pelabuhan-pelabuhan lain dijawa maupun luar Jawa
(semisal pelabuhan Demak, Jepara, Tuban, Banten, Aceh, Makasar (Bugis), Maluku
dan lainnya). Konon sejak abad 9-11 M, pekalongan sudah menjadi Pemasok
komoditas kain batik untuk diperdagangkan antar pulau dan negara. Pelabuhan
Pekalongan menjadi salah satu semacam tempat pengatur (keluar masuk)
pendistribusian hasil bumi daerah (beras, palawija, rempah-rempah, dan hasil
tanaman lainnya) dan hasil laut dari berbagai daerah termasuk Pekalongan itu
sendiri. Belum ada penelitian sejarah yang mendetail dan komprehensif (sejauh
yang saya tahu) terkait penguasaan kerajaan-kerajaan di Jawa akan wilayah
Pekalongan. Konon Sejak abad 8 sampai abad 16 M, konon Pekalongan (berikut
pelabuhannya) termasuk daerah yang masuk dalam kekuasaan dari beberapa kerajaan
masa itu (Mataram Kuno, Majapahit, Demak, Cirebon, Mataram Islam). Namun dilihat
dari wilayahnya yang jauh dari pusat kerajaan-kerajaan tersebut, perkembangan
Daerah Pekalongan bisa dikatakan cenderung independent (mandiri).
Seperti yang dijelaskan diatas,
datangnya para penjajah kolonial di Jawa, membuat kekacauan jaringan Nusantara.
Kota-kota pelabuhan di Jawa mengalami ganggungan yang serius, kedaulatannya diambil alih untuk
kepentingan kolonial, salah satunya termasuk Pelabuhan Pekalongan yang masa itu
terletak dimuara sungai Loji/Pekalongan. Sekitar tahun 1750 an, VOC membangun
Benteng Pekalongan (Fort Peccalongan) didaerah bataran sungai Loji Pekalongan.
Sisa bangunan dari Benteng ini masih bisa kita lihat sampai sekarang, yaitu
yang sekarang difungsikan menjadi Rutan II Pekalongan. Tujuan pembangunan
benteng ini, difungsikan untuk para pasukan VOC mengawasi Kegiatan Pelabuhan
Pekalongan dan Kapal-Kapal yang melalui Sungai Loji. Betapa mirisnya aktifitas
maritim kita masa itu (perdagangan laut, pelayaran, penangkapan ikan, dan
lainnya), dipelabuhan sudah diawasi pasukan VOC, sedang dilaut juga diawasi
oleh angkatan laut VOC. Dan sekarang, beberapa kalangan menyatakan benteng
tersebut sebagai simbol kejayaan Pekalongan? Dan saya juga bertanya-tanya
kenapa pula benteng ini menjadi salah satu unsur logo kota Pekalongan?
Pelabuhan
yang dulunya tempat transaksi (pintu gerbang) perekonomian yang terbuka,
kemudian dimonopoli oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC), Aktifitas laut (pelayaran,
perdagangan, dan penangkapan ikan) dibatasi bahkan dilarang, para pribumi
diarahkan untuk mengolah tanah pertanian dan perkebunan itupun dengan sistem
paksa yang hasilnya harus dijual (diserahkan) kepada VOC, tidak boleh dijual
kepada pedagang lain. Batik ditahun 1700an juga dijadikan komoditi perdagangan
lokal maupun ekspor oleh VOC, yang produksinya menyerap tenaga kerja pribumi.
Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat jauh dari aktifitas maritim dikemudian
harinya.
Setelah
VOC dibubarkan, masa selanjutnya diteruskan Pemerintah Hindia Belanda yang pada
intinya sama saja dengan VOC bahkan lebih menyengsarakan. Proyek Pembangunan
jalan Anyer-Panarukan sekaligus benteng-bentengnya pada masa Gubernur Daaendels
juga memaksa tenaga ribuan pribumi, termasuk pribumi Pekalongan yang juga
dilalui proyek jalan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda
membangun (merenovasi) pelabuhan yang dulu dan diresrmikan penggunaannya pada
tanggal 31 Mei 1859 sebagai pelabuhan umum untuk kepentingan ekspor-impor.
Namun di kawasan ini, mayoritas kegiatan ekonomi hanya dilakukan oleh orang
Cina, Arab dan Eropa yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, belum ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang sampai
menyentuh Pelabuhan Pekalongan, ditahun-tahun awal pemerintahan Soekarno hingga
transisi ke pemerintahan Soeharto masih diwarnai pergolakan politik yang tidak stabil, hingga
bisa dikatakan Pelabuhan Pekalongan tidak berfungsi untuk kegiatan niaga. Baru
pada tanggal 20 Agustus 1973 Direktur Jenderal Perikanan mengirim surat kepada
Menteri Perhubungan yang isinya pengajuan permohonan supaya status Pelabuhan
Pekalongan menjadi pelabuhan khusus Perikanan, pada tahun 1978 terjadi
peningkatan status pelabuhan sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara.
Ditahun-tahun selanjutnya, Pelabuhan Perikanan Pekalongan mencapai puncaknya
dengan hasil tangkapan mencapai 70 ribu ton per tahun. Siapa sangka pula, Pelabuhan
Perikanan Pekalongan hanya didominasi oleh para pengusaha perikanan yang datang
dari Bagan Siapi-api mulai pada tahun 70-an hingga sekarang menetap di
Pekalongan. Sebut saja nama-nama besar industri perikanan ini: Bintang Mas
Wibawa, Anugerah Timur, Multi Wahana Wibawa, Sinar Lestari, Charly Group,
Charytius, Along Jaya, dan lain-lainnya. Merekalah yang membuat industri
Perikanan di Pekalongan maju pesat, merekalah yang mengharumkan nama Pekalongan
sebagai Kota Perikanan hingga dikenal keseluruh pelosok Indonesia. Ternyata
Pribumi Pekalongan disekitar Pelabuhan hanya cukup puas dengan menjadi
kuli-kuli para pengusaha perikanan dari Bagan Siapi-api saja. Hanya sedikit
pengusaha Pribumi yang berhasil, seperti H. Riyanto Chaidiri dengan
perusahaannya yang bernama Marcopolo, H. Ani Martopo (Binatur), H. Slamet
Munawar (Cahaya Surya), H. Hartono (Nusa Jaya). Beberapa orang inilah yang
sekarang berusaha keras bergeliat membangun industri perikananan, mereka
mencintai laut, mencintai semangat kerja nelayan, dan mempertahankan
kemaritiman Kota Pekalonngan. (MIM)
(Diolah
dari berbagai sumber).
Salam
menulis, Salam Pekalonganisme