Pek-Alongan, Kota Maritim Yang Hilang? - Pekalonganisme

30 April 2014

Pek-Alongan, Kota Maritim Yang Hilang?

Pekalongan, Pekalonganisme.com
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang mbak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa

Masih ingatkah dengan petikan lagu diatas? lagu yang biasa diajarkan guru kita dalam kelas menyanyi dimasa TK sampai SD, mungkin sampai sekarang kita masih ingat ya? Namun kira-kira apa yang terbersit dalam kepala kita, ketika mendengar atau menyanyikan lagu tersebut? Apakah lagu tersebut menyadarkan (mengingatkan) kepada kita akan sejarah kemaritiman masa dulu, atau kita sudah anggap lagu tersebut hanya sekadar sebuah lagu? Atau bahkan kita tidak percaya kalau nusantara punya sejarah maritim yang gemilang? Dan kaitannya dengan Pekalongan, daerah yang terletak dipesisir pulau jawa, seperti apa perkembangan maritim di wilayah ini, apakah Pekalongan layak juga dikatakan kota maritim?

Dalam tulisan ini, saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, saya hanya akan mengajak anda semua untuk mencoba membaca ulang sejarah perjalanan Pekalongan, terlebih khusus kaitannya dengan kemaritiman wilayah ini. Setelah itu, silahkan anda sendiri yang buat kesimpulan. Bukan maksud untuk ber-klangenan (mengenang masa lalu yang indah), akan tetapi mari kita mengingat dan mengambil pelajaran, selagi masih ada yang dapat kita eksplorasi dan pelajari, karena bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan sejarah, bangsa yang belajar dari sejarah.

Apa si yang kita pahami dari kata maritim, Kemaritiman dan kekuatan maritim? Dan apa untungnya mempunyai kekuatan maritim?

Maritim adalah segala hal yang berkaitan dengan laut, mulai dari pelayaran dan perdagangan di laut, keamanan di laut (angkatan laut), sampai pada infrastruktur yang berkaitan dengan laut. Selain sebagai jalur perdagangan dan pelayaran antar wilayah (baik antar pulau, benua, maupun antar negara), laut menyimpan berjuta sumber daya alam yang bisa dijadikan penghidupan manusia. Dan kerajaan atau negara yang besar ialah negara yang punya strategi kekuatan maritim, kekuatan maritim bukan hanya meliputi angkatan laut saja, melainkan juga kegiatan ekonomi (pelayaran/perdagangan laut), dan infrastruktur yang berkaitan dengan laut(teknologi kelautan, transportasi laut, pelabuhan atau bandar, strategi laut).

Bangsa Indonesia menyebut wilayahnya sebagai “tanah air”. Secara harfiah, maka Indonesia terdiri atas tanah dan air. Tanpa air, Bumi Indonesia tidak akan dapat disebut tanah air, pun sebaliknya. Memang, Wilayah Nusantara terdiri dari 80% air, dan karena itu sudah sejak dulu sudah punya orientasi maritim. Tidak ada pengaruh besar dari luar dalam pembentukan semangat maritim nusantara, kesadaran akan geografi dan ekologi sekitar membuat para nenek moyang kita sangat menggantungkan hidupnya pada laut. Namun, tidak berarti barang-barang dagangan mereka hanya bersumber dari laut sehingga menutup akses dan sumber daya agraris. Para pendahulu nusantara juga memperdagangkan hasil-hasil pertanian, seperti cengkeh, lada, dan kayu manis yang menjadi hasil alam paling diminati di Eropa dan Cina. Barang-barang ini diekspor hingga mencapai istana dinasti Han di Cina Utara 2.000 tahun lalu, berikut juga ke Roma pada tahun 70 M, dan Mesopotamia pada ± tahun 1700 SM. (Amelia Rahmawaty, S. H. Int, Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan Sejarah Indonesia, http://www.fkpmaritim.org)

Pekalongan Kuno
Semua daerah dari kepulauan nusantara , dapat dipastikan punya pengalaman dan orientasi Maritim, seperti disebutkan diatas bahwa nusantara sudah sejak dulu memulai aktifitas maritim nusantara dan internasional, bahkan sejak sebelum Masehi . Termasuk juga Kota-kota dipesisir Pulau Jawa, dan Pekalongan dalam perjalanan sejarahnya merupakan daerah yang cukup punya andil dalam dunia kemaritiman nusantara maupun internasional. Sekitar abad VII-VIII M, konon wilayah Pekalongan kuno di bawah kekuasaan raja-raja keturunan dinasti Sanjaya dan Syailendra. Wilayah Petungkriono dulu ialah salah pusat pemerintahan kuno, sedang daerah Bandar merupakan pelabuhannya. Gugusan pantai masa itu memang di wilayah-wilayah Pekalongan Selatan, seperti Doro, Kajen, dan sederetnya, sedang Pekalongan Kota yang sekarang ini, dulunya masih berupa lautan. Kedalaman pantai kuno ini mencapai sekitar 150 meter, sehingga memungkinkan kapal jenis cadik yang seperti dalam relief candi Borobudur bisa berlabuh.

Hal tersebut membuat Wilayah Pekalongan kuno ramai dengan lalu lintas perdagangan, baik dari Arab, Cina, India, dan Melayu. Sedang kapal cadik sendiri, dalam catatan sejarah dikatakan sebagai kapal yang dipakai para pelaut dari nusantara abad VIII M selain untuk transportasi antar pulau, juga dipakai untuk misi pelayaran perdagangan sampai ke India, Madagaskar, bahkan pelayarannya ke timur sampai ke Hawai dan Selandia Baru. Kenapa dikatakan cadik, karena kapal ini memakai cadik sebagai penyeimbang  dan pemecah ombak. Design kapal ini tidak terlalu besar, akan tetapi daya jelajahnya sudah sampai sekitar 2000 mil. Sebuah teknologi perkapalan yang sangat canggih dimasa itu, dan yang perlu digaris bawahi bahwa hal ini, jauh sebelum Eropa mengenal kapal dan melakukan ekspedisi pelayaran untuk misi pencarian rempah-rempah (penjajahan/kolonialisasi). Kalau anda mengunjungi Candi Borobudur, sempatkan lah melihat relief Kapal Cadik ini. Dan kunjungilah museum kapal  “Samuderaraksa”, sebuah kapal yang dibuat sesuai dengan kapal cadik dalam relief. Kapal Samuderaraksa  pernah melakukan ekspedisi “napak tilas pelayaran abad ke 8 M” sekitar tahun 2003. Kapal Samuderaraksa berlayar tanpa mesin dilengkapi dengan 2 layar tanjak, 2 kemudi, dan cadik ganda, mengarungi samudra dengan tujuan Madagaskar, Cape Town, Ghana. Setelah berbulan-bulan berada di lautan lepas, akhirnya Samudraraksa berhasil merapat di Pelabuhan Tema, Accra, Ghana, 23 Februari 2004.

Abad 9 M sampai abad 16 M (masa kolonialisasi), kepulauan nusantara mempunyai jaringan kekuatan maritim yang diitopang antar satu sama lain daerah (pulau) di nusantara. Masing-masing pulau mempunyai kota-kota pelabuhan yang menjadi sarana perdagangan dan transportasi antar wilayah (pulau). Disisi lain muncul kerjasama antar masing kerajaan daerah dalam usaha pengamanan aktifitas laut dan kestabilan ekonomi laut. Masing-masing kerajaan mempunyai armada angkatan laut untuk menjamin keamanan jalur-jalur. Keadaan ini yang kemudian menjadikan kemakmuran pada masing-masing daerah (kerajaan) di nusantara, disisi lain juga diuntungkan dengan kondisi tanah nusantara yang relatif subur.

Sebuah penjelasan dalam buku Pekalongan Inspirasi Indonesia, Dr. Kusnin Asa, merujuk pada naskah cina kuno Wai-Tai-Ta, mengatakan bahwa pada tahun 1178 M Cou-Ju-Kua (Masa dinasti Tsung) menyebutkan Chepo (Jawa) disebut juga dengan Poe-Chua-lung.  Konon dikatakan bahwa Poe-Chua-lung merupakan daerah pelabuhan yang cukup besar yang berada ditengah pulau jawa, para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa Poe-Chua-lung sama juga dengan Pekalongan. 

Alongan; Mendapatkan Tangkapan (Hasil)

Asal-muasal penamaan daerah Pekalogan yang sering diketahui dan dipakai khalayak umum, banyak yang merujuk pada kisah yang meceritakan Bahurekso seorang bupati pertama masa Sultan Agung Mataram Islam yang melakukan tapa kalong. Dari kisah tersebut, konon lantas kemudian dijadikan untuk penamaan daerah ini. Namun kalau kita mau menelisik lebih jauh terkait penamaan daerah ini, seperti yang dilakukan oleh Suteja K. Widodo (ahli sejarah Universitas Diponegoro) dalam bukunya, Ikan Layang Terbang Menjulang, Suteja merujuk kitab Poerwa Lelana terkait nama Pekalongan. Nama Pekalongan konon turunan dari kata along (sebuah kata yang berkaitan dengan dunia kenelayanan) yang artinya; memperoleh hasil tangkapan  dari pekerjaannya menangkap ikan di laut.

Along dalam bahasa Jawa Kromo berarti pengangsalan, sampai sekarang, along merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menamakan hasil tangkapan laut dalam jumlah besar atau banyak oleh masyarakat di kawasan pantai utara Jawa bagian tengah, seperti di Demak, Jepara, Rembang sampai dengan Tuban.

Pada akhir abad 14, setelah mengalami proses Sedimentasi (pengendapan laut) yang panjang, terciptalah daratan baru yang lantas dikemudian hari menjadi kawasan permukiman. Wilayah inilah yang sekarang menjadi wilayah kota Pekalongan. Akan tetapi walupun mengalami proses sedimentasi, Pekalongan masih tetap mempunyai  pelabuhan, ini dibuktikan dengan banyaknya para urban dan migran yang datang dari Arab dan Cina yang kemudian membentuk kelompok dan pusat perdagangan di wilayah ini. Pada tahun 1439 M, Laksamana Cengho dari Dinasti Ming singgah di Pekalongan, dia menyebut nama Pue-Cha-Lung dengan Wu-Chueh yang artinya pulau yang indah.

Ketika masa Kesultanan Cirebon berkuasa diwilayah Pekalongan, diangkatlah kepala bandar pelabuhan menjadi  kepala daerah dengan nama Wu-hang . Pada masa Mataram Islam, Bahurekso, yang dalam beberapa versi diyakini sebagai pendiri Kadipaten Pekalongan, adalah salah satu "Panglima" Pasukan Sultan Agung. Bahurekso sebagai Panglima Armada Maritim dalam perebutan Batavia dari cengkeraman VOC yang dipimpin Jendral Jan Pieterson Coen. Sejarah mencatat penyerangan Sultan Agung ke Batavia terjadi tahun 1628 – 1629. Waktu itu, Posisi Pelabuhan Pekalongan menggantikan Posisi Demak dan Jepara sebagi Pusat Kekuatan Militer Laut dan Perdagangan, karena Jepara dan Demak dihancurkan Jan Pieterzoon Coen pada 1613, dan Pada 1619 Jan Pieterzoon Coen menaklukkan Sunda Kelapa dan menggantinya dengan nama Baatavia.

Wilayah Pekalongan, selalu menarik orang luar untuk mengunjungi daerah ini, disamping Pekalongan sebagai wilayah regensi atau kotamadya yang dari dulu sudah berkembang pusat produksi kain dan perdagangan, Pekalongan juga wilayah keresidenan (residensi) yang terletak di Pantai Utara Jawa, merupakan salah satu pusat pendaratan ikan yang keberadaannya sudah berlangsung lama (Suteja K. Widodo, Ikan Layang Terbang Menjulang). Kawasan laut sekitar  Pelabuhan Pekalongan  ke sebelah timur sampai laut sekitar kepulauan Karimunjawa sudah lama dikenal sebagai kawasan kaya ikan.

Masa Kolonial dan Maritim Jawa

Pada mulanya, kedatangan pelaut-pelaut Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda) dilandasi oleh keinginan berdagang. Namun, karena melihat kesuburan dan kemakmuran nusantara dan raja-rajanya yang kaya, keinginan tersebut kemudian berubah menjadi kerakusan, sehingga bernafsu memonopoli kota-kota pelabuhan, perdagangan nusantara, dan wilayah nusantara itu sendiri.

Menurut Prof. Djoko Suryo guru besar ilmu sejarah Uiversitas Diponegoro, saat pertama kali datang ke Jawa, pelaut Belanda, Cournelis de Houtman(1565-1599)  terkejut dengan kesibukan aktivitas perdagangan internasional disana. Perdagangan tidak hanya dilakukan oleh penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Barat, Arab dan Cina. Sehingga, ia pun menceritakan hal ini kepada pengusaha-pengusaha di Barat sekembalinya ia ke Belanda, di sisi lain juga ketenaran rempah-rempah yang dimiliki nusantara sudah diketahui dunia. Selain membawa “kabar” tentang nusantara yang letaknya strategis dan memiliki lahan yang subur, kembalinya De Houtman ke Belanda juga membawa rempah-rempah yang memberi keuntungan besar. Mengetahui hal tersebut, penjelajah Belanda (lebih tepatnya perusahaan perdagangan) lainnya kemudian ikut berlayar ke nusantara (Jawa) untuk membeli rempah-rempah (Amelia Rahmawaty, S. H. Int, Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan Sejarah Indonesia, http://www.fkpmaritim.org).

Kehadiran Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC (1602-1799) kongsi dagang Belanda di Jawa menjadi awal kemunduran kegiatan maritim di Jawa. Sejak awal, niat VOC berfokus pada perdagagan. Untuk itu, dibutuhkan hasil pertanian agar dapat diekspor sebanyak-banyaknya dan didapat semurah-murahnya untuk mengeruk keuntungan maksimal. Oleh karena itu, strategi VOC adalah memaksa petani-petani (Jawa) menanam komoditi yang laku dan memonopoli perdagangannya. Pemetaan yang lebih jelas sebagai berikut.

Monopoli perdagangan yang ditetapkan VOC membuat armada laut VOC menjaga laut-laut (dan menguasai pelabuhan) Nusantara (Jawa) untuk menghindari terjadinya perdagangan antara pribumi Nusantara dengan pedagang asing, terutama sekali Portugis dan Spanyol. Raja-raja Nusantara hanya boleh berdagang dengan Belanda dan pedagang lain yang telah mendapat izin dari VOC. Penjagaan laut membuat rakyat tidak dapat melaut secara bebas karena laut-laut dijaga oleh kapal-kapal Belanda.

VOC mewajibankan menggarap tanah dan menanam tanaman yang telah ditentukan (komoditi yang menguntungkan seperti gula (tebu), kopi, dan nila (indigo)) untuk kemudian dijual kepada VOC dengan harga mahal. VOC memaksa orang Jawa menjadi produsen pertanian, tetapi tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk berdagang karena perdagangan dimonopoli oleh VOC. Sehingga, VOC menguasai perdagangan dan pelayaran, sedangkan orang Indonesia(Jawa) menjadi petani kuli.

Yang terakhir adanya kebijakan contingenten yang mewajibkan rakyat menyerahkan hasil bumi sebagai pajak. Kewajiban-kewajiban ini membuat tenaga rakyat tersedot pada bidang agraris dan aktivitas maritim lambat laun mulai ditinggalkan. Setelah VOC selesai, masa pemerintahan Hindia Belanda juga semakin menyuramkan dunia maritim kita. Mulai dari tanam paksa, penguasaan pelabuhan, sampai pada kerja paksa pembangunan benteng-benteng pertahanan dan jalan raya Anyer-Pamanukan pada masa gubernur Daendels (1762-1818) yang menguras tenaga ribuan pribumi jawa. Tidak hanya rakyat, Belanda juga menggunakan penguasa-penguasa untuk menunjang kelancaran kebijakannya. Pemerintah Hindia Belanda memaksa penguasa-penguasa untuk mengerahkan rakyatnya untuk menjalankan kebijakan. Pemimpin pribumi, seperti raja, bupati, dan camat menjadi agen dari sistem tanam paksa.

Redupnya Kemaritiman Pekalongan?

                Bandar atau Pelabuhan Pekalongan sudah ada  sejak sekitar 1500 tahun yang lalu. Pada perjalanannya, Pekalongan menjadi kota pelabuhan, menjadi salah satu daerah lalu lintas perdagangan Pulau Jawa dengan jaringan perdagangan kepulauan nusantara pun juga perdagangan internasional. Menjadi salah satu kota pelabuhan yang turut memperkuat kestabilan ekonomi antar kerajaan turut menurut di Nusantara, bersama juga pelabuhan-pelabuhan lain dijawa maupun luar Jawa (semisal pelabuhan Demak, Jepara, Tuban, Banten, Aceh, Makasar (Bugis), Maluku dan lainnya). Konon sejak abad 9-11 M, pekalongan sudah menjadi Pemasok komoditas kain batik untuk diperdagangkan antar pulau dan negara. Pelabuhan Pekalongan menjadi salah satu semacam tempat pengatur (keluar masuk) pendistribusian hasil bumi daerah (beras, palawija, rempah-rempah, dan hasil tanaman lainnya) dan hasil laut dari berbagai daerah termasuk Pekalongan itu sendiri. Belum ada penelitian sejarah yang mendetail dan komprehensif (sejauh yang saya tahu) terkait penguasaan kerajaan-kerajaan di Jawa akan wilayah Pekalongan. Konon Sejak abad 8 sampai abad 16 M, konon Pekalongan (berikut pelabuhannya) termasuk daerah yang masuk dalam kekuasaan dari beberapa kerajaan masa itu (Mataram Kuno, Majapahit, Demak, Cirebon, Mataram Islam). Namun dilihat dari wilayahnya yang jauh dari pusat kerajaan-kerajaan tersebut, perkembangan Daerah Pekalongan bisa dikatakan cenderung independent (mandiri).

Seperti yang dijelaskan diatas, datangnya para penjajah kolonial di Jawa, membuat kekacauan jaringan Nusantara. Kota-kota pelabuhan di Jawa mengalami ganggungan yang  serius, kedaulatannya diambil alih untuk kepentingan kolonial, salah satunya termasuk Pelabuhan Pekalongan yang masa itu terletak dimuara sungai Loji/Pekalongan. Sekitar tahun 1750 an, VOC membangun Benteng Pekalongan (Fort Peccalongan) didaerah bataran sungai Loji Pekalongan. Sisa bangunan dari Benteng ini masih bisa kita lihat sampai sekarang, yaitu yang sekarang difungsikan menjadi Rutan II Pekalongan. Tujuan pembangunan benteng ini, difungsikan untuk para pasukan VOC mengawasi Kegiatan Pelabuhan Pekalongan dan Kapal-Kapal yang melalui Sungai Loji. Betapa mirisnya aktifitas maritim kita masa itu (perdagangan laut, pelayaran, penangkapan ikan, dan lainnya), dipelabuhan sudah diawasi pasukan VOC, sedang dilaut juga diawasi oleh angkatan laut VOC. Dan sekarang, beberapa kalangan menyatakan benteng tersebut sebagai simbol kejayaan Pekalongan? Dan saya juga bertanya-tanya kenapa pula benteng ini menjadi salah satu unsur logo kota Pekalongan?

Pelabuhan yang dulunya tempat transaksi (pintu gerbang) perekonomian yang terbuka, kemudian dimonopoli oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC), Aktifitas laut (pelayaran, perdagangan, dan penangkapan ikan) dibatasi bahkan dilarang, para pribumi diarahkan untuk mengolah tanah pertanian dan perkebunan itupun dengan sistem paksa yang hasilnya harus dijual (diserahkan) kepada VOC, tidak boleh dijual kepada pedagang lain. Batik ditahun 1700an juga dijadikan komoditi perdagangan lokal maupun ekspor oleh VOC, yang produksinya menyerap tenaga kerja pribumi. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat jauh dari aktifitas maritim dikemudian harinya.

Setelah VOC dibubarkan, masa selanjutnya diteruskan Pemerintah Hindia Belanda yang pada intinya sama saja dengan VOC bahkan lebih menyengsarakan. Proyek Pembangunan jalan Anyer-Panarukan sekaligus benteng-bentengnya pada masa Gubernur Daaendels juga memaksa tenaga ribuan pribumi, termasuk pribumi Pekalongan yang juga dilalui proyek jalan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda membangun (merenovasi) pelabuhan yang dulu dan diresrmikan penggunaannya pada tanggal 31 Mei 1859 sebagai pelabuhan umum untuk kepentingan ekspor-impor. Namun di kawasan ini, mayoritas kegiatan ekonomi hanya dilakukan oleh orang Cina, Arab dan Eropa yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, belum ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang sampai menyentuh Pelabuhan Pekalongan, ditahun-tahun awal pemerintahan Soekarno hingga transisi ke pemerintahan Soeharto masih diwarnai  pergolakan politik yang tidak stabil, hingga bisa dikatakan Pelabuhan Pekalongan tidak berfungsi untuk kegiatan niaga. Baru pada tanggal 20 Agustus 1973 Direktur Jenderal Perikanan mengirim surat kepada Menteri Perhubungan yang isinya pengajuan permohonan supaya status Pelabuhan Pekalongan menjadi pelabuhan khusus Perikanan, pada tahun 1978 terjadi peningkatan status pelabuhan sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara. Ditahun-tahun selanjutnya, Pelabuhan Perikanan Pekalongan mencapai puncaknya dengan hasil tangkapan mencapai 70 ribu ton per tahun. Siapa sangka pula, Pelabuhan Perikanan Pekalongan hanya didominasi oleh para pengusaha perikanan yang datang dari Bagan Siapi-api mulai pada tahun 70-an hingga sekarang menetap di Pekalongan. Sebut saja nama-nama besar industri perikanan ini: Bintang Mas Wibawa, Anugerah Timur, Multi Wahana Wibawa, Sinar Lestari, Charly Group, Charytius, Along Jaya, dan lain-lainnya. Merekalah yang membuat industri Perikanan di Pekalongan maju pesat, merekalah yang mengharumkan nama Pekalongan sebagai Kota Perikanan hingga dikenal keseluruh pelosok Indonesia. Ternyata Pribumi Pekalongan disekitar Pelabuhan hanya cukup puas dengan menjadi kuli-kuli para pengusaha perikanan dari Bagan Siapi-api saja. Hanya sedikit pengusaha Pribumi yang berhasil, seperti H. Riyanto Chaidiri dengan perusahaannya yang bernama Marcopolo, H. Ani Martopo (Binatur), H. Slamet Munawar (Cahaya Surya), H. Hartono (Nusa Jaya). Beberapa orang inilah yang sekarang berusaha keras bergeliat membangun industri perikananan, mereka mencintai laut, mencintai semangat kerja nelayan, dan mempertahankan kemaritiman Kota Pekalonngan. (MIM)

(Diolah dari berbagai sumber).

Salam menulis, Salam Pekalonganisme