PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Terletak di poros
tengah (mylpaal) Pulau Jawa, di mana konon sekitar
1500 tahun yang silam sebelum mengalami proses sedimentasi (pendangkalan laut) yang
panjang, daratan yang sekarang menjadi
wilayah administrasi Kota Pekalongan
masih berupa lautan. Dalam peta gugusan pantai kuno disebutkan bahwa
wilayah-wilayah pegunungan pedesaan seperti Bandar, Doro (wilayah Pekalongan Selatan), dulunya masih
berupa pantai. Kedalaman pantai kuno masa itu mencapai sekitar 150 meter,
sehingga memungkinkan kapal-kapal seperti jung
atau cadik yang seperti digambarkan dalam relief Candi Borobudur bisa
berlabuh, sangat besar kemungkinannya dulu wilayah ini menjadi pelabuhan kuno
yang besar, yang menjadi pintu masuk persebaran dan jalur perdagangan kuno
antara Jawa dengan
negeri luar (Cina, India, Arab).
Kata “Bandar” memang kalau kita runut
dari artinya ialah tempat berlabuh (pelabuhan). Selanjutnya ada wilayah Buaran yang terletak
dibawah disebelah utara Doro (sekarang, Buaran menjadi perbatasan antara Pekalongan kota dan
kabupaten), Buaran berasal
(dekat) dari kata Pabuaran yang kalau diartikan juga
pelabuhan. Terletak di tengah Pulau Jawa, pastinya wilayah ini sangat strategis jika dijadikan pintu masuk
ke Pulau Jawa, menjadi tempat
pertemuan manusia antar wilayah dari sekitarnya dan dari luar Jawa itu sendiri. Tempat
lalu lintas pertukaran dan perdagangan yang tak pernah sepi.
Sedang wilayah
bagian selatan Pekalongan (daerah Dataran Tinggi Dieng/Banjarnegara) yang konon menjadi pusat Kerajaan Kalingga,
kerajaan yang berdiri sekitar abad 6 M, yang menjadi cikal bakal raja-raja keturunan
Sanjaya dan Syailendra. Sanjaya yang
lantas mendirikan Kerajaan Mataram Kuno, dan Borobudur itu menurut para sejarawan dibangun pada masa Syailendra. Bakal calon Kerajaan Kalingga yang bermigrasi
dari India
tak mungkin seujuk-ujuk berada di
Dataran Dieng (kalaupun daerah dataran tinggi Dieng memang dulunya pusat Kerajaan Kalingga) tanpa melewati
pintunya Jawa
bagian tengah,
yaitu Pekalongan.
Adapula para sejarawan masih memperkirakan keberadaan ibukota kerajaan Kalingga itu terletak disekitar
antara Pekalongan
dan Jepara.
Pada abad 12 M,
dalam naskah Wai-Tai-Ta dari Tiongkok, Cou-Ju-Kua
menyebutkan bahwa Chepo (Jawa) disebut juga Poe-Chua-lung. Menurut perkembangan Sinologi dan
bahasa, para ahli bahasa mengatakan bahwa Poe-Chua-lung sama dengan pekalongan,
Poe-Chua-lung merupakan penamaan sebuah daerah pelabuhan di pantai utara Jawa pada masa dinasti
Tsung. Pada abad 14, setelah mengalami proses sedimentasi beratus-ratus tahun,
tecipta wilayah baru disebelah utara yang sekarang menjadi wilayah Kota Pekalongan. Datanglah para
migran dan urban dari berbagai wilayah.
Tahun 1439 M, Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming singgah di Pekalongan. Dia menyebut Poe-Chua-lung dengan
Wu-Chueh yang berarti pulau yang indah. Pertengahan abad 15 M, wilayah ini masuk
dalam wilayah teritorial Demak Islam (setelah sebelum masuk dalam wilayah Kasultanan Cirebon) lantas wilayah
pelabuhan ini berubah menjadi tempat pemukiman. Zona pemukiman berada
dibantaran Sungai
Loji dan Sungai Kupang, banyak dari
komunitas Cina
dan Arab
membangun basis perekonomian di wilayah ini, di sisi lain juga pribumi Jawa sendiri.
Persinggungan dari berbagai macam etnis bangsa yang terjadi, menciptakan
berbagai macam akulturasi budaya yang menyesuaikan kehidupan bersama.
Masa penyebaran
islam oleh Walisanga
di Pulau Jawa, Pekalongan mempunyai
berbagai kisah yang berkaitan dengan para wali. Daerah Suroloyo, sebuah daerah
didekat Kecamatan
Doro merupakan daerah yang diyakini menjadi tempat pertapaan, tempat memberi
nasehat Punakawan
terhadap Pandawa (hal ini dekat
dengan pewayangan yang sering dipakai Sunan Kalijaga). Didekat daerah ini juga ada petilasan Syeh Lemah Abang, yang lantas
dijadikan nama untuk desa daerah tersebut (Desa Lemah Abang). Ada pula pesanggrahan Sunan Kalijaga di Desa Gending, sebuah desa
di Kecamatan
Wonopringgo. Nama “Gending” sendiri dipakai untuk menyebut wilayah yang selalu ada bebunyian suara
Gamelan. Masa Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung
(abad 17 M) mengangkat Kyai Adipati Mandurareja sebagai Bupati
Pekalongan.
Sejak saat itu, Pekalongan
masuk dalam wilayah Mataram Islam sampai masa kolonial.
Perlawanan terhadap
kolonial di Pekalongan
juga sangat gencar. Ki Penatas Angin pejuang sekaligus ulama yang ditakuti oleh
tentara Belanda,
selalu bergerliya melawan penjajah, makamnya berada di daerah perbukitan
Rogoselo Kecamatan
Doro. Siti Ambariyah, pejuang pun juga pendakwah wanita yang dimakamkan di daerah Bojong,
Habib Ahmad di Sapuro, dan lainnya. Pekalongan konon juga beberapa kali menjadi tempat
persinggahan pasukan gerliya Pangeran Diponegoro, yang konon Megono merupakan
menu makanan yang menjaga stamina pasukan geriliya. Hingga pada masa gerakan
revolusi 45, banyak aktifis revolusi kemerdekaan datang ke Pekalongan, untuk
mengambil sokongan materil
(dana revolusi) yang diberikan saudagar-saudagar Pekalongan yang dikenal
dermawan.
Masyarakat Pekalongan bertumbuh
kembang menjadi cosmopolit, di dalamnya berbagai macam etnis bergabung tetapi
jarang bahkan tak pernah terjadi gesekan. Persinggungan budaya antar komunitas
di dalamnya, melahirkan mentalitas yang mapan, kebudayaan yang saling
melengkapi. Etos kerja yang tinggi dan kuat karena sejak dulu sudah terlatih dalam perdagangan.
Pekalongan modern berkembang menjadi daerah industri yang cukup mapan. Industri
Batik dan konveksi, merupakan salah satu penopang ekonomi dari sebagian
masyarakat Pekalongan,
disisi lain juga hasil laut
(perikanan) bagi masyarakat pekalongan bagian utara dan
pertanian dan perkebunan bagi masyarakat Pekalongan bagian selatan. Berbagai macam kesenian juga berkesinambungan dengan kehidupan
sehari-hari, mulai dari sintren, jathilan, wayang, terbangan, dan sebagainya.
Bahkan pada tahun 50an hingga akhir 80an ada sekitar lima gedung bioskop yang
tersebar di wilayah Pekalongan, belum juga Bioskop Tobong (bioskop ditempat terbuka) yang seringkali diadakan masyarakat. Tradisi
kuliner Pekalongan
juga sangat khas, mulai dari Megono, Tauto, Garam Asem, Panggang Ayam dan
sebagainya yang mempunyai cita rasa khas dan biasanya menyimpan simbol
bermakna. Bahasa Jawa Pekalongan
yang dikenal unik, tidak sekaku bahasa Tegalan
dan sehalus Semarangan, bahasa Pekalongan berada
di tengah-tengah keduanya.
Dari rentetan
sejarah yang ada dan yang membentuk Pekalongan, tidakkah sangat disayangkan jika kita membiarkannya kabur
dari ingatan kolektif kita? Tempat, peristiwa, tokoh penting dalam garis waktu
kehidupan kita, akankah kita biarkan hilang tanpa jejak? Bukankah dari
sejarahlah kita mendapat pelajaran bagi kehidupan kita semua baik sekarang dan
anak cucu kita yang akan datang?. Pastinya kita semua akan sepakat bahwa
sejarah sangat penting bagi kita, bahwa dengan sejarah kita bisa mengetahui
diri kita, dari sejarah kita bisa belajar menjalani kehidupan, dari sejarah
kita bisa mengukur dan meningkatkan kualitas hidup kita.
Untuk itu, dengan kapasitas
memorizing yang terbatas, menuliskannya,
merupakan salah satu cara yang tepat untuk menjaganya. Bukan hanya untuk
sekedar klangenan melainkan sebagai
pembelajaran, pemahaman, bahkan pedoman menjalani kehidupan. Penjelasan saya akan garis waktu diatas, masih
sebatas penggalan-penggalan tak detail. Dari sini saya berharap, muncul upaya
dari kita untuk melakukan penggalian data, eksplorasi, penelaahan, dan
penulisan sejarah kita bersama. (mim)
Mari menulis.
Salam, Pekalonganisme.com