Pekalongan dari Masa ke Masa - Pekalonganisme

17 April 2014

Pekalongan dari Masa ke Masa

PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Terletak di poros tengah (mylpaal) Pulau Jawa, di mana konon sekitar 1500 tahun yang silam sebelum mengalami proses sedimentasi (pendangkalan laut) yang panjang, daratan yang sekarang  menjadi wilayah administrasi Kota Pekalongan masih berupa lautan. Dalam peta gugusan pantai kuno disebutkan bahwa wilayah-wilayah pegunungan pedesaan seperti Bandar, Doro (wilayah Pekalongan Selatan), dulunya masih berupa pantai. Kedalaman pantai kuno masa itu mencapai sekitar 150 meter, sehingga memungkinkan kapal-kapal seperti jung atau cadik yang seperti digambarkan dalam relief Candi Borobudur bisa berlabuh, sangat besar kemungkinannya dulu wilayah ini menjadi pelabuhan kuno yang besar, yang menjadi pintu masuk persebaran dan jalur perdagangan kuno antara Jawa dengan negeri luar (Cina, India, Arab).

Kata Bandar memang kalau kita runut dari artinya ialah tempat berlabuh (pelabuhan). Selanjutnya ada wilayah Buaran yang terletak dibawah disebelah utara Doro (sekarang, Buaran menjadi perbatasan antara Pekalongan kota dan kabupaten), Buaran berasal (dekat) dari kata Pabuaran yang kalau diartikan juga pelabuhan. Terletak di tengah Pulau Jawa, pastinya wilayah ini sangat strategis jika dijadikan pintu masuk ke Pulau Jawa, menjadi tempat pertemuan manusia antar wilayah dari sekitarnya dan dari luar Jawa itu sendiri. Tempat lalu lintas pertukaran dan perdagangan yang tak pernah sepi.

Sedang wilayah bagian selatan Pekalongan (daerah Dataran Tinggi Dieng/Banjarnegara) yang konon menjadi pusat Kerajaan Kalingga, kerajaan yang berdiri sekitar abad 6 M, yang menjadi cikal bakal raja-raja keturunan Sanjaya dan Syailendra. Sanjaya yang lantas mendirikan Kerajaan Mataram Kuno, dan Borobudur itu menurut para sejarawan dibangun pada masa Syailendra. Bakal calon Kerajaan Kalingga yang bermigrasi dari India tak mungkin seujuk-ujuk berada di Dataran Dieng (kalaupun daerah dataran tinggi Dieng memang dulunya pusat Kerajaan Kalingga) tanpa melewati pintunya Jawa bagian tengah, yaitu Pekalongan. Adapula para sejarawan masih memperkirakan keberadaan ibukota kerajaan Kalingga itu terletak disekitar antara Pekalongan dan Jepara.

Pada abad 12 M, dalam naskah Wai-Tai-Ta dari Tiongkok, Cou-Ju-Kua menyebutkan bahwa Chepo (Jawa) disebut juga Poe-Chua-lung. Menurut perkembangan Sinologi dan bahasa, para ahli bahasa mengatakan bahwa Poe-Chua-lung sama dengan pekalongan, Poe-Chua-lung merupakan penamaan sebuah daerah pelabuhan di pantai utara Jawa pada masa dinasti Tsung. Pada abad 14, setelah mengalami proses sedimentasi beratus-ratus tahun, tecipta wilayah baru disebelah utara yang sekarang menjadi wilayah Kota Pekalongan. Datanglah para migran dan urban dari berbagai wilayah.

Tahun 1439 M, Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming singgah di Pekalongan. Dia menyebut Poe-Chua-lung dengan Wu-Chueh yang berarti pulau yang indah. Pertengahan abad 15 M, wilayah ini masuk dalam wilayah teritorial Demak Islam (setelah sebelum masuk dalam wilayah Kasultanan Cirebon) lantas wilayah pelabuhan ini berubah menjadi tempat pemukiman. Zona pemukiman berada dibantaran Sungai Loji dan Sungai Kupang, banyak dari komunitas Cina dan Arab membangun basis perekonomian di wilayah ini, di sisi lain juga pribumi Jawa sendiri. Persinggungan dari berbagai macam etnis bangsa yang terjadi, menciptakan berbagai macam akulturasi budaya yang menyesuaikan kehidupan bersama.

Masa penyebaran islam oleh Walisanga di Pulau Jawa, Pekalongan mempunyai berbagai kisah yang berkaitan dengan para wali. Daerah Suroloyo, sebuah daerah didekat Kecamatan Doro merupakan daerah yang diyakini menjadi tempat pertapaan, tempat memberi nasehat Punakawan terhadap Pandawa (hal ini dekat dengan pewayangan yang sering dipakai Sunan Kalijaga). Didekat daerah  ini juga ada petilasan Syeh Lemah Abang, yang lantas dijadikan nama untuk desa daerah tersebut (Desa Lemah Abang). Ada pula pesanggrahan Sunan Kalijaga di Desa Gending, sebuah desa di Kecamatan Wonopringgo. Nama “Gending sendiri dipakai untuk menyebut wilayah yang selalu ada bebunyian suara Gamelan. Masa Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung (abad 17 M) mengangkat Kyai Adipati Mandurareja sebagai Bupati Pekalongan. Sejak saat itu, Pekalongan masuk dalam wilayah Mataram Islam sampai masa kolonial.

Perlawanan terhadap kolonial di Pekalongan juga sangat gencar. Ki Penatas Angin pejuang sekaligus ulama yang ditakuti oleh tentara Belanda, selalu bergerliya melawan penjajah, makamnya berada di daerah perbukitan Rogoselo Kecamatan Doro. Siti Ambariyah, pejuang pun juga pendakwah wanita yang dimakamkan di daerah Bojong, Habib Ahmad di Sapuro, dan lainnya. Pekalongan konon juga beberapa kali menjadi tempat persinggahan pasukan gerliya Pangeran Diponegoro, yang konon Megono merupakan menu makanan yang menjaga stamina pasukan geriliya. Hingga pada masa gerakan revolusi 45, banyak aktifis revolusi kemerdekaan datang ke Pekalongan, untuk mengambil sokongan materil (dana revolusi) yang diberikan saudagar-saudagar Pekalongan yang dikenal dermawan.

Masyarakat Pekalongan bertumbuh kembang menjadi cosmopolit, di dalamnya berbagai macam etnis bergabung tetapi jarang bahkan tak pernah terjadi gesekan. Persinggungan budaya antar komunitas di dalamnya, melahirkan mentalitas yang mapan, kebudayaan yang saling melengkapi. Etos kerja yang tinggi dan kuat karena sejak dulu sudah terlatih dalam perdagangan. Pekalongan modern berkembang menjadi daerah industri yang cukup mapan. Industri Batik dan konveksi, merupakan salah satu penopang ekonomi dari sebagian masyarakat Pekalongan, disisi lain juga hasil laut (perikanan) bagi masyarakat pekalongan bagian utara dan pertanian dan perkebunan bagi masyarakat Pekalongan bagian selatan. Berbagai macam kesenian  juga berkesinambungan dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari sintren, jathilan, wayang, terbangan, dan sebagainya. Bahkan pada tahun 50an hingga akhir 80an ada sekitar lima gedung bioskop yang tersebar di wilayah Pekalongan, belum juga Bioskop Tobong (bioskop ditempat terbuka) yang seringkali diadakan masyarakat. Tradisi kuliner Pekalongan juga sangat khas, mulai dari Megono, Tauto, Garam Asem, Panggang Ayam dan sebagainya yang mempunyai cita rasa khas dan biasanya menyimpan simbol bermakna. Bahasa Jawa Pekalongan yang dikenal unik, tidak sekaku bahasa Tegalan dan sehalus Semarangan, bahasa Pekalongan berada di tengah-tengah keduanya.

Dari rentetan sejarah yang ada dan yang membentuk Pekalongan, tidakkah sangat disayangkan jika kita membiarkannya kabur dari ingatan kolektif kita? Tempat, peristiwa, tokoh penting dalam garis waktu kehidupan kita, akankah kita biarkan hilang tanpa jejak? Bukankah dari sejarahlah kita mendapat pelajaran bagi kehidupan kita semua baik sekarang dan anak cucu kita yang akan datang?. Pastinya kita semua akan sepakat bahwa sejarah sangat penting bagi kita, bahwa dengan sejarah kita bisa mengetahui diri kita, dari sejarah kita bisa belajar menjalani kehidupan, dari sejarah kita bisa mengukur dan meningkatkan kualitas hidup kita.

Untuk itu, dengan kapasitas memorizing yang terbatas, menuliskannya, merupakan salah satu cara yang tepat untuk menjaganya. Bukan hanya untuk sekedar klangenan melainkan sebagai pembelajaran, pemahaman, bahkan pedoman menjalani kehidupan.  Penjelasan saya akan garis waktu diatas, masih sebatas penggalan-penggalan tak detail. Dari sini saya berharap, muncul upaya dari kita untuk melakukan penggalian data, eksplorasi, penelaahan, dan penulisan sejarah kita bersama. (mim)

Mari menulis.
Salam, Pekalonganisme.com