Pekalongan Kota Batik - Pekalonganisme

16 April 2014

Pekalongan Kota Batik

PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Sekitar 15 tahun silam lebih atau kira-kira pertengahan tahun 90an, saya hampir setiap hari melihat ibu saya dan ibu-ibu lain di kampung saya yang setiap harinya memegang canting di tangan kanan, serta tangan kiri mereka memegang kain. Ya, mereka sedang membatik. Kala itu, saya belum tahu apakah sudah sekeras seperti hari-hari inikah orang-orang menggembar-gemborkan kalimat "Pekalongan Kota Batik!". 

Saya yang kala itu masih seumuran anak TK, sekarang lupa apakah pernah saya mendengar orang-orang mengucapkan kalimat itu dengan bangga seperti yang sering saya dengar sekarang. Sudah jelas, padahal di kampung saya dan kampung-kampung lain sekitarnya, tahun itu dan tahun-tahun sebelumnya, banyak orang Pekalongan ibu-ibu utamanya, melakukan sebuah tradisi, membudayakan, dan menjalani titahnya sebagai orang Pekalongan; Membatik.Hari ini, 15 tahun dari ingatan saya itu, setiap hari saya melihat dan membaca tulisan "Pekalongan Kota Batik", mendengar kalimat itu diucapkan, dan serta ikut meneriakkannya, pula saya bangga akan kalimat itu.

Hari ini, hari ini saya masih di kampung yang 15 tahun lalu ibu saya dan ibu-ibu lain di kampung ini setiap harinya membatik kain, lalu menjualnya ke pasar, atau jika hasil batikannya tak sempurna alias dalam istilah orang Pekalongannya disebut BS atau "Barang Sisa" maka batik itu mereka simpan sebagai koleksi atau mereka pakai sebagai pakaian keseharian. Mereka tak membatik mengikuti permintaan pasar. Mereka membatik karena membatiklah yang hanya mereka bisa lakukan. Nah, alasan inilah yang akhirnya menimbulkan pesimisme mereka tentang Batik. Apa pesimisme mereka tersebut?

Mereka, ibu-ibu pembatik itu dan juga ibu saya tak ingin jika kelak anak mereka hanya menjadi seorang pembatik, apalagi buruh pembatik (membatik karena menuruti permintaan pasar). Mereka berpikir bahwa membatik dan alias membuat Batik tak akan bisa menjadikan mereka naik pangkat secara stasus sosial. Pembatik tak bisa menjadi orang kaya, demikian istilah dangkalnya. Sampai akhirnya, pesimisme mereka itu menjadikan mereka tak mau mengajarkan kepada anak-anak mereka bagaimana cara membatik, pun bahkan sekedar bagaimana cara memegang canting dengan benar. Saya tak ngawur menuliskan hal ini, karena demikianlah yang ibu saya dan dua ibu-ibu lain ceritakan kepada saya dua hari kemarin sebelum saya menulis ini.

Hari ini, saya kira mindset mereka itu "berhasil". Hari ini saya tak bisa menemukan satupun ibu-ibu di kampung saya yang menjalani hari-harinya dengan membatik, apalagi mbak-mbak ibu-ibu muda. Saya sudah jauh dari usia anak TK, dan tak bisa menemukan pekarangan rumah yang berdiri di sana pohon mangga, pohon jambu, atau pohon rambutan, yang digunakan ibu-ibu pembatik untuk berteduh saat mereka membatik.

Membatik, di kampung saya hanyalah sebuah "cerita pahit" masa lalu para ibu-ibu. Dan, kini akhirnya saya bingung, kenapa hari ini saya masih merasa bangga dengan kalimat "Pekalongan Kota Batik".

15 April 2014
Simbangwetan, Indonesia.
Ditulis oleh Muhammad Khalid.