Pembangunan Peradaban di Era Globalisasi: Antara Sains dan Kearifan Lokal - Pekalonganisme

25 April 2014

Pembangunan Peradaban di Era Globalisasi: Antara Sains dan Kearifan Lokal

Oleh: Andiga Kusuma Nur Ichsan*
  
Kritik atas sains
Jika berangkat dari beberapa penulis yang sebelumnya mengatakan bahwa kemajuan sebuah peradaban bangsa dikarenakan penggunaan sains rasa-rasanya terlalu naif bagi kita jika terlalu mendewa-dewakan sains. Meskipun pada hakikatnya saya pribadi juga bercita-cita menjadi peneliti, otomatis hidup dan mati saya selalu berkaitan erat dengan sains terutama filsafat ilmu. Terlepas dari cita-cita saya tersebut saya mau mencoba memberikan opini bahwa sains bukanlah hal yang paling hebat dan yang paling benar, tetapi 2 hal yang istimewa dari sains adalah a) bersifat terbuka dan belajar dari apapun dan b) mempunyai mekanisme koreksi/memperbaiki kesalahan yang sistematik, sehingga sudah menjadi hal yang umum dimana teori-teori hasil sains selalu direvisi dan diperbaiki secara terus menerus untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Lalu pertanyaannya mengapa saya tidak terlalu begitu mendewa-dewakan sains? Mungkin dari berbagai literatur yang saya baca, saya menyimpulkan  ternyata sains tidak dapat menjelaskan semua hal, sebut saja contoh yang paling gampang adalah agama.  Adapun hipotesis yang saya dapat bahwa sains sangat bersifat materialistik dan asumsi-asumsi yang dibangun berangkat dari logika sederhana sehari-hari (commonse sense). Padahal dunia tidak semudah dan sesederhana yang dijelaskan oleh sains.

Di bawah payung sains terutama melalui pakar-pakarnya yang terkemuka sebut saja Descartes, Newton, Einstein dkk , sains dan teknologi mendapatkan fondasi yang kokoh dan efektif: matematika dan fisika-mekanis. Dengan itu, sains dan teknologi berkembang pesat, dan bersama sistem birokrasi plus profesionalismenya, ia  telah mengubah dunia manusia hingga seperti sekarang ini. Sayangnya, di sisi lain kerangka modern ini juga membawa dampak dan berbagai kepincangan. Ketika sains berfokus pada pertanyaan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana”, hati berfokus pada “untuk apa”. Ketika sains berfokus pada “bisakah” untuk dilakukan, hati berfokus pada “pantaskah untuk dilakukan”. Jadi tak pelak ketika terjadi PD (Perang Dunia) 1 dan PD2 dimana sains berselingkuh dengan politik, dia menjadi alat yang dimanfaatkan untuk menghancurkan negara yang satu dengan yang lainnya. 

Kembali kepada pemikiran bahwa sains mampu menciptakan peradaban yang modern seperti saat ini saya rasa ada benarnya juga. Mengapa sains layak untuk tetap diprioritaskan? Mungkin karena pembangunan sains memang men-support-nya, sebut saja sifatnya yang “terbuka”, koreksi diri secara “sistematik”, hasil empris dan materialnya yang “jelas”, dan terakhir metode pengukuran yang “objektif” dan “transparan” secara publik. Lalu  benarkah barat bisa semaju ini karena sains?  Saya pribadi masih bingung membuktikannya, tapi satu hal yang saya yakini bahwa tolak ukur kemajuan peradaban adalah mentalitas modern. Apa itu mentalitas modern? Ya sebuah mental dan sifat otonom (bebas dan dewasa) baik dari segi pemikiran dan perbuatan, karena pada hakikatnya sifat otonom bisa dijadikan sebagai sifat patokan/ukuran ke-dewasa-an (universality accaptable). Ada yang menganggap bahwa menjadi modern seolah-olah menjadi seperti barat, secara de facto mungkin saja benar, tapi yang perlu digaris bawahi disini bahwa sains tidak identik dengan barat. Mengapa sains berkembang di barat adalah fenomena kebetulan sejarah terutama ketika terjadi era renaisance (Sugiharto, 2013).

Pembentukan Karakter Pembangunan: Wacana Kearifan Lokal
Jika beberapa orang sebelumnya mengatakan perlunya membangun mindset pembangunan baik dengan membaca dan berdialektika dengan gagasan-gagasan tokoh besar dunia, saya sangat setuju dengan argumentasi tersebut. Apalagi pengutipan atas pendapat Prof Soedjatmoko bahwa kita harus melakukan penyesuaian kreatif dalam proses modernisasi Indonesia; penggabungan akar budaya dan modernitas inilah yang akan melahirkan blue print masyarakat modern Indonesia.

Menjelang era globalisasi sudah tidak ada waktu lagi untuk memperdebatkan (pro-kontra) kehadirannya. Cepat atau lambat dia pasti akan datang. Era globalisasi adalah era yang sangat mengedepankan paham liberalisme, paham yang menjadikan nilai kebebasan individual sebagai dasar dari kehidupan. Dalam bidang ekonomi, globalisasi sering diartikan sebagai liberalisasi ekonomi atau liberalisasi perdagangan. Melalui kerangka pemikiran ini maka seluk beluk perekonomian akan menjunjung tinggi pada era persaingan, persaingan global tentunya. Negara harus siap untuk melakukan persaingan dengan negara lain melalui kompetisi unggul yang dimiliki oleh masing-masing negara. Seluruh sumber daya baik alam ataupun manusia harus dioptimalkan dan dipersiapkan agar memilki daya tawar (bargaining) yang sangat kuat.

Semua sektor perekonomian harus mulai dibangun dan dioptimalkan terutama sektor rill. Hal ini mengingat betapa strategis dan pentingnya sektor rill bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Indonesia akan mendapat peluang dan tantangan dari keberadaan persaingan global tersebut. Tak dapat dipungkiri, pertumbuhan perekonomian di Indonesia sekarang masih ditopang oleh sektor perbankan dan terjadi keminiman partisipasi dari sektor rill. Selain itu, permasalahan-permasalahan yang terjadi menjadikan suatu tantangan dalammengembangkan dan memajukan Indonesia dalam periode liberalisasi ekonomi.

Dalam menjawab tantangan tersebut maka Indonesia harus menoleh kembali pada kearifan lokalnya. Saat ini banyak negara yang telah menjadi maju karena tetap berpegang teguh pada kearifan lokalnya sebut saja negara Jepang dan China. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal tidak muncul semerta-merta, tetapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan masyarakat.

Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Beberapa contoh dari kearifan lokal (local wisdom) yang telah tertanam kuat dan membudaya di Indonesia adalah sifat gotong royong, telaten dan pekerja keras. Yang kalo saya boleh berkata jujur tersirat dalam perumusan pancasila oleh para founding father kita

PR Bersama
Sekali lagi ijinkan saya mencoba mengutip pendapat dari Prof Soedjatmoko dalam karyanyaThe Primacy of Freedom (1985), ketika masih menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo beliau mengatakan: “Seandainya kita mau menyimak pengalaman pada tahun-tahun yang lampau secara cermat jelaslah bahwa, sebagai akibat dari terlalu besarnya bobot dan nilai yang mereka berikan kepada pertumbuhan dan tahapan-tahapannya serta dengan ketersediaan modal dan keahlian, para teoritisi Ilmu Ekonomi Pembangunan kurang memperhatikan masalah-masalah kelembagaan dan struktural sehingga mereka pun gagal memahami besarnya pengaruh kekuatan-kekuatan historis, budaya, dan keagamaan dalam proses pembangunan."

Atas latar belakang saya yang mahasiswa Ekonomi Pembangunan (yang biasanya sering disebut mahasiswa Ilmu Ekonomi – seperti UI) saya pribadi melihat banyak sekali teori-teori sains di bidang Ilmu Ekonomi (economics) yang notabene berasal dari barat sering kali tidak mampu menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi di Indonesia (dan NSB pada umum-nya). Lebih ironi lagi kadang kala sering terjadi distorsi ketika teori-teori dari barat tersebut diimplementasikan dalam pengambilan kebijakan. Pembangunan teori baru dari dalam negeri yang pasti sangat sulit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit (modal, pemikiran, energi, waktu dsb). Tetapi seperti yang awal-awal telah dijelaskan mentalitas modern adalah kunci eksistensi sebuah negara dalam membangun peradaban. Jika kita bisa mengembangkan kearifan lokal yang kita miliki dan membangunnya (elaborate) dengan kerangka berpikir sains, bukan tidak mungkin pengejaran ketertinggalan dan penjemputan takdir peradaban dapat lebih cepat tercapai.

Referensi
Capra, Fristjof. 2000. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Catatan Kuliah Filsafat Ilmu Prof Bambang Sugiharto 2013
Soedjatmoko. 1985. The Primacy of Freedom. New York.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Todaro, Michael P., dan Stephen C. Smith. 2008. Economic Development 9th Edition. New York. Worth Publishers.

Selamat Hari Buku, dan Selamat atas Penghargaan “Socrates Awards”-nya Kota Surbaya 

*Penulis merupakan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga 2011 dan Aktivis HmI Komisariat Ekonomi Airlangga Surabaya