PEKALONGAN, Pekalonganisme.com - Tentunya orang Pekalongan sangat akrab dengan makanan
yang satu ini, hampir di setiap jengkal wilayah Pekalongan, kita dapat
menemukan warung ataupun pedagang keliling yang menjajakan soto yang berbeda
dengan soto-soto dari kota lain di indonesia ini. Hampir semua lidah, baik dari
kalangan elit maupun non-elite, baik etnis Jawa, Arab, maupun Cina yang tinggal
di Pekalongan menerima dan suka dengan soto yang diramu dengan bumbu khasnya tauco goreng.
Biasanya di dalam sebuah warung Tauto, tak jarang
kita menjumpai orang dari berbagai kalangan menyantap makanan ini dengan lahap
sambil sesekali saling bersapa dan bercanda. Ya seakan tak ada sekat antara
satu orang dengan yang lainnya, antara buruh dengan juragan, antara Jawa dengan
Arab, antara Cina dengan Jawa dan sebagainya. Hanya dari suatu makanan, kita melihat
sebuah keharmonisan antar-sesama.
Agaknya memang menarik, seperti sebuah obrolan tentang
Tauto (Soto Pekalongan), yang diobrolkan penulis dengan seorang teman sekaligus guru, pada suatu malam yang dingin dan
teringat Tauto Pekalongan. Mari kita sedikit menelisik dan mencari unsur-unsur “apa”
yang ada di belakang Tauto (tauco
soto) yang rasanya khas dengan kuah gurih agak encer berisi daging kerbau empuk,
mie soun (mie putih yang lembut
gemulai) yang ketika disantap saat soto masih panas dapat dipastikan membikin
keringat segar mengucur penyantapnya.
Kita mulai dari Tauco
yang menjadikan soto ini khas, bumbu tauco yang dikembangkan dan dipakai untuk
bahan olahan makanan khususnya Tauto (tauco soto) sudah dalam bentuk digoreng.
Banyak dari pengamat sejarah berpendapat bahwa tauco diperkenalkan dan dibawa
ke nusantara oleh orang Tiongkok, dengan landasan hipotesa yang menyatakan
bahwa budaya yang banyak mempengaruhi kuliner dunia diantaranya Tiongkok dan India.
Sehingga banyak pula yang beranggapan bahwa tauto ini merupakan produk kuliner
yang terpengaruh oleh India maupun Tiongkok. Sedang, Mie Soun (mie putih lembut gemulai), yang
menjadi unsur wajib dalam soto, sangat dipastikan berasal dari Tiongkok, karena
memang Tiongkok lah yang menemukan teknologi membuat mie.
Daging kerbau, yang menjadi isi wajib tauto Pekalongan,
dalam benak saya muncul pertanyaan menelisik semacam ini, kenapa kok tidak daging
Babi atau daging Sapi yang kebanyakan dipakai dalam makanan khas dari tiongkok?
Justru daging kerbau yang dipakai untuk isi tauto? Saya kira ini bukanlah
sebuah kebetulan. Jawaban yang muncul dalam benak saya kemudian, kalau tauto Pekalongan
memakai daging babi yang biasa dipakai di Tiongkok, pastinya makanan ini tak
bakal diminati oleh orang Islam yang menjadi mayoritas penduduk Pekalongan.
Karena Babi dalam Syariat Islam, salah satu daging yang tidak boleh dimakan.
Kalau begitu mengapa tidak memakai daging sapi, ini juga tidak dipilih. Saya diingatkan oleh teman obrolan tauto malam
itu; Karena sapi ialah salah satu simbol suci dalam agama hindu, jadi memakan
daging sapi sama halnya dengan tidak menghormati kepercayaan agama hindu yang
dulu dipeluk sebagian besar masyarakat Jawa. Sama seperti yang dilakukan oleh Sunan
Kudus melarang masyarakat Kudus dan sekitarnya menyembelih Sapi untuk Qurban.
Sedang bumbu-bumbu yang melengkapi soto tersebut,
mulai bawang putih, kemiri, merica, kapulaga, bawang goreng, dan lain-lain, bumbu-bumbu ini sangat
condong dengan unsur kuliner khas dari Arab.
Masakan khas Arab
biasanya sangat bercirikan dengan kelengkapan bumbu yang digunakan dan biasanya
bercirikan gurih, pedas dan sebagainya. Lantas kita lebih condong berpikir
bahwa berbagai
macam unsur yang diramu dalam makanan khas Pekalongan (Tauto) ini, tidak hanya
sebuah kebetulan semata, tidak hanya sekadar produk makanan yang dihasilkan
dari akuluturasi dari berbagai entitas budaya, kalau ternyata unsur-unsur yang
ada didalamnya seperti yang dijelaskan di atas. Akan tetapi tauto Pekalongan ialah
sebuah manifestasi pemahaman bermasyarakat, bertoleransi, harmonisasi hubungan
antar-manusia,
antar-etnis golongan
dan bahkan antar-agama. Hal tersebut ialah wujud dari pluralitas,
insklusifitas dan cosmopolit-nya kebudayaan kita. Sebagai contoh Dalam hal ini, Tauto
Pekalongan diramu dengan menyatukan unsur-unsur budaya yang berbeda seperti
yang saya jelaskan diatas, kemudian dijadikan sebagai suatu makanan yang bisa
dinikmati dan dihayati bersama, oleh lidah dan jiwa yang berbeda.
Kita berpikir bahwa Tauto bukan hanya sekadar makanan
untuk memperkenyang perut, melainkan hasil Pola-pola yang dirancang oleh para pendahulu,
para wali, para nenek moyang kita dalam mengajarkan ajaran dan memberi
pemahaman kepada kita akan kebersamaan, toleransi dan saling menghormati. Nenek
moyang kita memanifestasikan ajaran kedalam bentuk kesenian, kuliner, dan
sebagainya sehingga ajaran tersebut mampu masuk dan dekat dalam relung
kehidupan sehari-hari mayarakat, tidak hanya sekedar ungkapan teoritis maupun
teks yang kaku dan sukar dipahami.(Mim)
Salam Tauto anget, salam jiwa tentram, salam
kebersamaan, salam menulis.
Salam Pekalonganisme.