Tjoet Nja' Dhien dan Pedagang Senjata Belanda |
Pekalongan, Pekalonganisme.com - Pahlawan
bangsa Indonesia dari Aceh ini, sangat terkenal kegigihannya dalam melawan
penjajah, perannya dalam melawan penjajah (kape-kape
belanda) digambarkan apik oleh Eros Djarot (Sutradara) dalam produksi film
perdana nya yang berjudul Tjoet Nja’ Dhien, dirilis tahun 1989.Perang gerliya
Aceh berlangsung selama bertahun-tahun dari pertengahan abad 19 sampai awal
kemerdekaan Indonesia.
Nja’ Dhien yang diperankan oleh Christine
Hakim (Artis Senior yang punya talenta brilian), merupakan Istri Teuku
Umar (Slamet Raharjo Djarot) pemimpin pasukan rakyat aceh, istri yang sekaligus penasehat
dalam mengatur strategi perang, ibu yang mendidik dengan kasih sayang, serta
pengayom kehidupan sosial maupun agama rakyat Aceh. Beliaupun dengan penuh
keyakinan tak ragu memimpin pasukan rakyat aceh meneruskan peran suaminya yang
gugur terlebih dulu dalam pertempuran.
Terbunuhnya
teuku umar oleh Belanda bukan lantas meredupkan perlawanan rakyat Aceh, dalam kepemimpinan
istri Teuku Umar, Nja’ Dhien, Belanda malah semakin kebingungan dan kalangkabut
menghadapi perlawanan-perlawanan rakyat Aceh dengan berbagai strategi yang tak
disangka-sangka pasukan belanda. Eros Djarot dalam film ini menggambarkan
kelihaian mengatur strategi,
berdiplomasi, ketelitian dan kewaspadaan menyikapi segala hal yang
melekat pada tokoh utamanya Tjoet Nja’ Dhien.
Nja’ Dhien dengan kepiawaiannya menjadi pemimpin, mengarahkan dan memberi pertimbangan kepada panglima pasukan Aceh, Pang Laot (Pietradjaja Burnama), dalam mengatur penyerangan ke pangkalan tentara Belanda, mencari tempat aman, dan memanagemen logistik untuk pasukan rakyat aceh. Kelihaian diplomasi juga diperlihatkan ketika Nja’ Dhien berdiplomasi dengan Habib Meulaboh (Rosihan Anwar) dan Teuku Djalil (Teuku Djalil), kemudian mengumpulkan logistik dan sokongan dana dari berbagai daerah di Aceh. Terjun lansung di lapangan dan strategi penyamaran Nja’ Dhien pun tak diragukan ketika melewati tentara belanda saat akan membeli senjata perang dari pedagang belanda, proses tawar menawar senjata dengan pedagang belanda pun diwanai dengan gaya percakapan diplomasi yang khas. Inilah yang dimaksud dari perkataan Nja’ Dhien kepada Pang Laot yang terheran-heran, “berterang-terang dalam gelap, bergelap-bergelap dalam terang”.
Nja’ Dhien dengan kepiawaiannya menjadi pemimpin, mengarahkan dan memberi pertimbangan kepada panglima pasukan Aceh, Pang Laot (Pietradjaja Burnama), dalam mengatur penyerangan ke pangkalan tentara Belanda, mencari tempat aman, dan memanagemen logistik untuk pasukan rakyat aceh. Kelihaian diplomasi juga diperlihatkan ketika Nja’ Dhien berdiplomasi dengan Habib Meulaboh (Rosihan Anwar) dan Teuku Djalil (Teuku Djalil), kemudian mengumpulkan logistik dan sokongan dana dari berbagai daerah di Aceh. Terjun lansung di lapangan dan strategi penyamaran Nja’ Dhien pun tak diragukan ketika melewati tentara belanda saat akan membeli senjata perang dari pedagang belanda, proses tawar menawar senjata dengan pedagang belanda pun diwanai dengan gaya percakapan diplomasi yang khas. Inilah yang dimaksud dari perkataan Nja’ Dhien kepada Pang Laot yang terheran-heran, “berterang-terang dalam gelap, bergelap-bergelap dalam terang”.
Eros Djarot pun mempertajam jalannya cerita perlawanan rakyat aceh dengan mengungkapkan beberapa pengkhianat rakyat Aceh, yang termakan tipu rayu dan bersekongkol dengan Belanda, seperti Teuku Leubeh (Muhammad Amin) yang bersekongkol dengan Jendral Van Heutz (Van Den Hoek) dan Kapiten Veltman (Rudi Wowor). Dalam akhir film, penangkapan Nja’ Dhien oleh Belanda, juga tidak terlepas dari Pang Laot yang diposisi dilematis antara iba ingin menyelamatkan Nja’ Dhien dan menghianati Nja’ Dhien dengan memberitahukan tempat persembunyian Nja’ Dhien beserta pengikutnya kepada Kapiten Van Heutz.
Yang menarik lagi, dimunculkan juga tokoh penyair (Ibrahim Kadir) pintar plus lucu dengan tentengan terbangnya, yang mewarnai kehidupan pasukan rakyat Aceh dan memperdengarkan syair-syair khas Aceh penggugah semangat, seperti “wahai putra negeri, perang suci memanggil kita, mengertilah bahwa jihad wajib bagi kita, pertama syahadat, dua sembahyang, tiga perang melawan belanda!!”. Ucapan-ucapan nya juga menarik seperti ketika berdialog dengan pang laot, ‘...akan tetapi dengan syair-syairku, akan membuat kape-kape Belanda lari tunggang langgang hengkang dari Aceh..’. Dan juga ketika menyanjung Nja’ Dhien, ‘..engkau sungguh luar biasa, kau meraba sesuatu dengan rasa, melihat dengan pikiran, melangkah dengan keyakinan...’.
Dalam salah satu scene, ditampilkan ketika Jendral Van Heutz menerima telpon dari istrinya di Kutaraja yang menyuruhnya pulang dan menagih janjinya untuk mengajak bermain Bridge. Lantas Van Heutz berucap menasehati anak buahnya, ‘..kelak ketika kau jadi jendral, jangan kau nikahi wanita, karena wanita hanya bikin pusing!!...’. Eros Djarot seakan ingin mengajak penonton untuk memahami dan memperbandingkan, terkait pandangan seorang belanda terhadap wanita dan perilaku karakter wanita belanda nya sendiri dengan wanita nusantara yang diangkat dalam filmnya—Nja’ Dhien. Nja’ Dhien yang bijaksana, kuat, dan mampu memimpin berguna dalam relung kehidupan keluarga maupun masyarakat apa sesuai dengan pandangan Jendral Van Heutz? Bagaimana pula perbedaan wanita Belanda dengan Wanita Nusantara?. Eros pun menggambarkan kerjasama-kerjasama solid antar wanita dan lelaki didalam pasukan rakyat Aceh. seperti yang wanita menyiapkan logistik (memasak makanan dan sebagainya), yang lelaki mencari bahan logistik.
Film ini sangat menarik, karya anak bangsa indonesia yang memuat satu proses kehidupan dan perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan kedaulatan tanahnya, negerinya, dan kehormatannya dari kolonialisasi yang tak beradab. Memperingatkan pada kita bahwa semua orang bisa berperan penting dalam kehidupan masyarakat baik laki-laki maupun wanita. Menimbang tahun pembuatannya, teknik cinematografi film ini cukup memuaskan apalagi untuk film produksi perdana. Penggambaran adegan Scene demi scene sangat runtut dan mudah dipahami, mulai dari persiapan perlawanan, mengatur strategi, ketegangan pertempuran saat berlansung dan scene lain yang mendukung penguatan cerita. Yang menarik lagi, dialog-dialog dalam film ini sarat simbol dan makna yang dalam sangat sayang untuk dilewatkan. Tak salah kalau film ini sangat disarankan untuk ditonton oleh semua kalangan. Aceh punya Tjoet Nja’ Dhien, Pekalongan Punya Siti ambariyah, Indonesia punya wanita nusantara.
Selamat Menonton bagi yang belum menonton, dan yang akan
menonton kesekian kalinya.
Mari menulis, salam pekalonganisme..
Alivia Dita P