![]() |
Penampilan wayang golek dalang Ki Wahyudin |
Pekalongan, Pekalonganisme.com - Dalam bulan-bulan
tertentu seperti bulan Syawal ini, akan
banyak dijumpai berbagai hajatan yang
diselenggarakan masing keluarga diberbagai daerah di Pekalongan. Biasanya yang
umum dalam bulan Syawal ini Hajatan pernikahan dan Sunatan. Selain menyebut dengan bulan lebaran maupun penuh kemenangan,
seringkali masyarakat pekalongan menyebut bulan Syawal ini dengan bulan penuh Kondangan.
Ya memang, setiap orang(keluarga) dalam bulan ini bisa dapat undangan hajatan
dari tetangga, kerabat, dan kenalan lebih dari lima, tergantung masing-masing
orangnya. Biasanya, yang bapak dapat
undangan sinoman dan Ngambeng(walimahan),
dan yang ibu dapat undangan Kiso sehari sebelum Ngambeng. Sedang yang muda, kalau hajatan pernikahan, akan diundang
para pengantinnya untuk datang Sinoman dan
resepsi pernikahannnya .
Hajatan
baik walimatul ursy maupun khitan dan juga hajatan lainnya, bisa
dikatakan sebagai wujud rasa syukur(tasyakuran) dari yang punya hajat. Disisi
lain, fenomena tradisi kondangan yang mengiringi tasyakuran itu, ialah sebuah
praktek sosial yang sarat akan muatan. Dalam kondangan tersebut, muncul sebuah
rasa saling berbagi, saling tolong-menolong, ikut bersuka cita, dan yang terpenting,
praktek ini menjadi salah satu media penjaga hubungan antar sesama(silaturahim
masyarakat).
Hal lain
yang menarik dari dibulan syawal ini, biasanya juga sering ditemui pementasan
wayang diberbagai daerah. Wayang ini dipentaskan bukan untuk memperingati
moment-moment tertentu(misalnya sedekah bumi, agustusan, dan lainnya), melainkan pementasan wayang ini ada karena
hajatan-hajatan tersebut diatas ada. Karena biasanya keluarga-keluarga dengan tingkat
ekonomi yang bagus, tidak jarang ketika empunya
hajatan juga mengundang salah satu kelompok kesenian(baik wayang, qosidahan, bahkan dangdutan) baik lokal maupun luar untuk pentas. Selain sebagai
wujud rasa syukur, kesenian ini juga dimaksudkan untuk memberi hiburan untuk
para tamu undangan dan masyarakat sekitarnya.
Seperti
pada jumat malam yang lalu, di desa Randujaya, Wonopringgo, dipentaskan wayang
golek dalang Ki Wahyudin dari Batang dengan Lakon ‘Joko Bau(Babad Pekalongan)’
pada hajatan walimatul khitan warga setempat. Kebetulan tim pekalonganisme
berkesempatan menonton pagelaran wayang tersebut. Penontonnya penuh sesak
hingga rela berdiri ber jam-jam untuk menyaksikan pagelaran wayang tersebut. Dan
yang menarik, penonton-penonton ini tidak hanya datang dari para tamu undangan
maupun warga sekitar, melainkan banyak juga dari luar kecamatan yang datang,
seperti karangayar, kedungwuni, buaran dan lainnya. Kami sempat berbincang
dengan satu rombongan penonton dari buaran yang ternyata setiap malam setelah
lebaran selalu menyaksikan pagelaran wayang golek Ki Wahyudin di beda-beda
tempat. Ternyata hampir setiap malam dalam bulan syawal ini, Ki Wahyudin selalu
diundang mementaskan wayang dalam berbagai hajatan di beberapa tempat di Pekalogan.
Memang saat ini, Ki Wahyudin dalang yang cukup ternama untuk wilayah batang dan
pekalongan.
Malam itu,
lakon Joko Bau dibawakan apik oleh Ki wahyudin, penonton menyimak dengan serius
setiap adegan demi adengan, sabetan demi sabetan tangan Ki dalang memainkan
wayang-wayang golek nya yang diiringi tabuhan gamelan para wiyogo(pengrawit) dan diselingi tembang-tembang yang dibawakan
tujuh sinden. Lakon Joko bau dalam pagelaran tersebut dimulai dari Joko Bau yang
mendapat mandat dari Sultan Agung(Raja Mataram Islam) untuk babad Alas Gambiran
yang sekarang menjadi wilayah pekalongan dan sedikit wilayah batang. Alas Gambiran
rencananya akan dijadikan pemukiman sekaligus wilayah pertanian.
Alas Gambiran
masa itu dikisahkan sangat angker dan ditunggui oleh banyak lelembut, hingga
kemudian Joko Bau seringkali mendapat cibiran dari masyarakat kalau dia tidak
akan berhasil membuka alas Gambiran. Termasuk cibiran itu datang dari
pesaingnya Pangeran Purboyo yang ingin mendapatkan simpati dari Sultan Agung,
lantas juga mencegah dan ingin menggagalkan misi Joko Bau, namun berkat kehebatan
ilmu dan kekuatan kaluragan joko berhasil melaluinya. Kemudian ketika sedang
menjalankan misinya membabad Alas Gambiran, Joko Bau diganggu oleh Kolo Sengoro
dan prajuritnya, lelembut yang menunggui Alas Gambiran. Joko Bau sempat
menerima kekalahan, namun lantas dia dibekali pusaka oleh ayahnya Ki Ageng Cempaluk
berupa keris Suket Rumataji untuk melawan Kolo Sengoro, Joko Bau pun berhasil
mengalahkannya. Tidak sampai disitu, setelah Joko sudah menebang semua pohon
yang ada di Alas Gambiran, ada satu pohon Jati Sari yang tidak sanggup ditebang
olehnya. Dia kebingungan, hingga kemudian dia meminta petunjuk pada ayahnya
lagi, menurut ayahnya pohon Jati sari itu ditunggui oleh rajanya lelembut Jawa
yaitu kyai Jenggot Sari. Untuk bisa mengalahkannya, Ki Ageng Cempaluk berwasiat
pada Joko Bau bisa “loro sak jroning waras,
mati sak jroning urip”, yaitu dengan bertapa kalong dibawah pohon Jati
tersebut. Akhirnya setelah melakukan tapa
kalong pohon itu bisa ditebang, dan
kemudian tapa kalong nya Joko Bau itulah yang konon menjadi awal penamaan
Pekalongan.
Lakon yang
bersumber dari cerita lisan ini, memang tidak semuanya bisa serta merta diamini
dari segi sejarah, sebab sejarah cikal bakal penamaan Pekalongan masih jadi perdebatan para ahli
sejarah sampai saat ini. Ada versi lain yang mengungkapkan nama Pekalongan itu
berasal dari kata Phoe-Cha-Lung, diketahui berasal dari naskah tiongkok antara abad
12 sampai 13 M. Phoe-Cha-Lung merupakan sebutan dari orang-orang tiongkok masa
itu untuk menyebut daerah tengah-tengah pulau Jawa(Chepo). Adapula versi yang menyebutkan, Pekalongan
berasal dari kata Along yg kemudian dapat tambahan Pe diawal dan An diakhir.
Pek-Along-an, dalam bahasa jawa pesisir utara berarti mendapat tangkapan(ikan) banyak,
memang dari dulu daerah ini dikenal pelabuhan ramai dan wilayah perairan
lautnya menyimpan banyak ikan.
Terlepas
dari kontroversi tersebut, pagelaran wayang (dalam hal ini, dipentaskan
diberbagai hajatan) ialah kesenian rakyat yang hidup dan ditopang oleh masyarakat
itu sendiri. Lakon-lakon wayang baik wayang kulit, golek, menak dan lainnya
menjadi ingatan kolektif masyarakat Jawa yang berhasil menjadi tidak hanya sekedar
tontonan ataupun cerita melainkan juga tuntunan berkehidupan(media pembelajaran).
Seperti pagelaran wayang golek diatas, lewat tokoh joko bau dalang berusaha
mengajarkan dan mengajak masyarakat untuk meneladani karakter Joko yang ksatria, gigih, ulet, pantang menyerah, patuh
dan punya sikap bertanggung jawab pada perintah pemimpin. Memang dalam akronim
lain, da-lang ialah Ngudal Piwulang (membabarkan
ajaran). Dalang Ki wahyudin pun
menerangkan bahwa hujan ialah rahmat tuhan yang harus disyukuri, ketika
pagelaran wayang nya sempat terhenti sebentar dikarenakan hujan lebat.
Wayang, baik wayang kulit, golek, klitik, songsong, menak ialah ciptaan para Walisanga(Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat dan lainya) menjadi media dakwah dan pembelajaran untuk masyarakat islam jawa yang tak usang oleh waktu. Berabad-abad lamanya, wayang turut berkontribusi dalam memperkuat keislaman masyarakat Jawa.
Wayang pun dipatenkan menjadi salah satu warisan kebudayaan dunia, yang harus dijaga eksistensinya. Lantas kemudian, jangan sampai menggelar pagelaran wayang untuk hanya sekedar klangenan dan menikmati kesenian eksotik, yang justru seakan-akan kita asing dan jauh darinya. Wayang harusnya tetap hidup disela-sela kehidupan masyarakat sebagai kesenian rakyat, seperti misalanya dalam hajatan diatas, sebagai hiburan sekaligus media pembelajaran yang sarat akan tuntunan dan pedoman berkehidupan. Wayang hidup dan ditopang oleh masyarakat itu sendiri, justru karena memang masyarakat membutuhkannya. Muhammad Yanto (fb Yanto Plus)
Wayang, baik wayang kulit, golek, klitik, songsong, menak ialah ciptaan para Walisanga(Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat dan lainya) menjadi media dakwah dan pembelajaran untuk masyarakat islam jawa yang tak usang oleh waktu. Berabad-abad lamanya, wayang turut berkontribusi dalam memperkuat keislaman masyarakat Jawa.
Wayang pun dipatenkan menjadi salah satu warisan kebudayaan dunia, yang harus dijaga eksistensinya. Lantas kemudian, jangan sampai menggelar pagelaran wayang untuk hanya sekedar klangenan dan menikmati kesenian eksotik, yang justru seakan-akan kita asing dan jauh darinya. Wayang harusnya tetap hidup disela-sela kehidupan masyarakat sebagai kesenian rakyat, seperti misalanya dalam hajatan diatas, sebagai hiburan sekaligus media pembelajaran yang sarat akan tuntunan dan pedoman berkehidupan. Wayang hidup dan ditopang oleh masyarakat itu sendiri, justru karena memang masyarakat membutuhkannya. Muhammad Yanto (fb Yanto Plus)