Seperti halnya ketika kita duduk santai di kedai kopi mulai
dari pinggiran hingga hingga cafe yang dianggap berkelas di Daerah Pekalongan,
jarang sekali pemilik yang konsisten mem-branding minuman yang sebenarnya
memiliki keunikan nilai yang tidak dimilik oleh kota lain. Sebut saja Kopi Aceh
Gayo, Kopi Toraja dan kopi lain lebih ditonjolkan sebagai menu utama di
sebagian besar kedai kopi di Pekalongan.
Memang tidak semuanya seperti itu, namun seakan mereka lupa
jika Pekalongan juga memiliki kopi khas yang tidak ditemukan di daerah lain. Kopi
Tahlil, begitu masyarakat menyebutnya untuk sebuah racikan kopi yang
komposisinya terdiri dari kopi, gula jawa dan campuran rempah-rempah seperti
jahe, cengkeh, kayu manis, pandan, kapulaga, batang serai dan pala.
Takut bersaing dengan yang sudah eksis sepertinya bukan
alasan yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini karena biasanya persaingan
justru semakin kuat ketika suatu produk eksis pada ceruk tertentu. Nampaknya memang
kritik Effendi Simbolon memang lebih tepat untuk menggambarkan apa kondisi yang
masyarakat kita yang lebih konsumtif terhadap produk-produk asing dengan label
impor.
Layaknya Taoto yang telah dibahas sebelumnya, Kopi Tahlil
merupakan hasil dari sebuah akulturasi budaya arab di Pekalongan yang membawa
pada kolaborasi cita rasa yang tertuang dalam produk kopi turunan sehingga
lama-kelamaan menjadi sebuah produk yang diterima dalam masyarakat. Konon,
awalnya kopi ini sering disajikan sebagai suguhan acara tahlilan dalam rangka
memperingati dan mendoakan orang yang telah atau baru meninggal. Seiring berjalannya
waktu, Kopi Tahlil telah menjelma sebagai minuman khas Pekalongan yang dapat
ditemukan di tempat-tempat nongkrong tertentu di malam hari.