2017 - Pekalonganisme

29 September 2017

Pengusaha Siap Branding Wonopringgo Sebagai Pusat Konveksi

9:03 PM
Pengusaha Siap Branding Wonopringgo Sebagai Pusat Konveksi
Wonopringgo - Pengusaha konveksi asal Wonopringgo, Pekalongan, yang tergabung dalam Komunitas Pengusaha Konveksi se Kecamatan Wonopringgo adakan pertemuan untuk membahas rencana penguatan image Wonopringgo sebagai sentra industry konveksi penghasil pakaian jadi Jumat malam di rumah kediaman Azizu Rahman, SE.

Kecamatan Wonopringgo yang selama ini telah memasok kebutuhan pakaian hasil produksi home industry ke berbagai pusat grosir di kota besar seperti Jakarta, Cirebon, Purwakarta, Solo, Jogja, Surabaya hingga Makasar dan Lombok telah mengalami perkembangan yang sangat pesat menghasilkan berbagai macam varian mulai dari celana, baju, gamis hingga pakaian anak.

Sebagai tuan rumah, Azizu Rahman menjelaskan bahwa sebenarnya Kecamatan Wonopringgo mampu mensejajarkan diri dengan kota penghasil pakaian jadi lainya seperti Bandung misalnya, hanya saja masyarakat belum menyadari potensi besar yang ada di Wonopringgo sendiri.

Salah satu peserta komunitas, Arif Afiyanto menuturkan bahwa baginya tidak ada hal yang tidak mungkin selama ada usaha dan kerja yang nyata seperti halnya cikal bakal industri konveksi yang ada di Wonopringgo awalnya adalah merupakan penjahit yang pulang dari mengadu nasib di Jakarta sehingga tumbuh sedemikian pesatnya.

Selain merumuskan langkah yang akan dilakukan ke depan sebagai penguatan citra konveksi di mata masyarakat, Komen Pengusaha Konveksi Wonopringgo juga merencanakan kegiatan yang natinya akan menjadi simbol bagi warga Wonopringgo kususnya sebagai penguat citra Wonopringgo sebagai sentra konveksi penghasil pakaian jadi.

16 June 2017

Analisa Pembangunan Bandara Kuno Peninggalan Belanda di Pekalongan

10:33 AM
Analisa Pembangunan Bandara Kuno Peninggalan Belanda di Pekalongan


Pekalongan memang menjadi salah satu daerah yang sangat diperhitungkan di Tanah Jawa pada masanya. Masa keemasan Pekalongan tidak lain dikarenakan oleh faktor mutlak, sentral Pulau Jawa dengan kemajuan pelabuhan sebagai pusat perdagangan, rasanya sulit diadaptasi oleh daerah lain. Keunggulan Komparatif yang diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan yang dikemukakan oleh David Ricardo tahun 1817 dalam buku fenomenalnya yang berjudul Principle of Political Economy and Taxation rasanya pantas dijadikan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa Pekalongan memang memiliki sebuah keunggulan dibandingkan daerah lain.

Catatan sejarah yang menempatkan Pekalongan sebagai pelabuhan kuno yang besar bagi kerajaan-kerajaan di Jawa menjadi tanda bahwa kemajuan wilayah Pekalongan memang sangat diperhitungkan. Pemilihan Pekalongan sebagai titik nol kilometer (mylpaal) melalui mega proyek pembuatan jalur pantai utara sepanjang seribu kilometer oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda tahun 1808-1811, Herman Willem Deandels, sebagai percepatan jalur koordinasi antar wilayah.

Hingga tahun 1830, Pekalongan tercatat memiliki tiga pabrik yang mensuport kejayaan Indonesia sebagai eksportir gula terbesar di dunia. Potret keemasan Pekalongan lain adalah ditemukannya bukti bahwa Pekalongan memiliki bandar udara kuno yang diperkirakan peninggalan jajahan Hindia Belanda seluas 25 hektare di daerah Kesesi.

Pemerintah kabupaten kini bersiap untuk mengupayakan revitalisasi peninggalan bersejarah ini melalui pidato Bupati Pekalongan, Asip Kholbihi, Maret lalu yang terlihat sangat bersemangat untuk meneliti kembali serta membuat kajian tentang kelayakan Bandar udara tersebut untuk dioperasikan kembali. Asip menegaskan bahwa rencana revitalisasi Bandar udara ini telah disampaikan ke Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, melalui Musrembang Eks Karesidenan Pekalongan 2017 di Pemalang dengan harapan pengembalian fungsi Bandar udara ini dapat mempercepat pembangunan Kabupaten Pekalongan.

Hal senada sebenarnya pernah disampaikan oleh Walikota Pekalongan periode sebelumnya kala menjabat, Basyir Achmad, kepada Menteri Perhubungan untuk mendirikan Bandar udara di Kota Pekalongan. Sayangnya niatan ini ditolak oleh Ignatius Jonan, Menteri Perhubungan waktu itu.

Penolakan ijin pembangunan Bandar udara ini memang sebuah hal yang menarik untuk di kaji. Terlebih untuk perkembangan Pekalongan baik kabupaten maupun kota. Minimnya lahan di Kota Pekalongan mendasari alasan penolakan ini. Berbeda dengan Kota, Kabupaten Pekalongan justru diuntungkan dengan adanya 25 hektare lahan milik pemerintah di kawasan bekas Bandar udara kuno ini tentunya memudahkan dalam proses pembangunannya. Oleh karena itu jika memang benar masalah lahan penyebabnya, bukan tidak mungkin pemerintah pusat akan memberikan izin pembangunannya.

Namun apa yang akan terjadi apabila revitalisasi Bandar Udara Pekalongan ini berjalan mulus. Analisa sederhana dalam rencana pembangunan kembali Bandar Udara Pekalongan ini patut dijadikan bahan pertimbangan.

Prestisius merupakan hal yang terlintas paling awal ketika sebuah daerah memiliki Bandar udara. Laiknya pelabuhan, Bandar udara di sebuah daerah dianalogikan sebagai daerah maju karena memang perputaran ekonomi relative lebih cepat berkembang di daerah tersebut sehingga masyarakat akan menyambut baik pembangunan infrastruktur kebanggaan masyarakat ini.

Pertumbuhan ekonomi serta permintaan pasar terhadap moda transportasi baru sewajarnya memiliki hubungan linier di semua wilayah. Terlebih status ekonomi masyarakat Pekalongan yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai pasar potensial bagi penjualan produk. Nyata-nyata perusahaan penerbangan nomer satu di Indonesia milik pemerintah, Garuda Indonesia, tak luput dari usaha pengembangan bisnis di Pekalongan dengan membuka gerai penjualan di Pekalongan meskipun statusnya masih berada di bawah komando kantor cabang Semarang. Artinya keberadaan gerai pemasaran diperuntukkan untuk mendukung penjualan di wilayah Semarang sehingga dapat dikatakan permintaanya untuk keberlangsungan pemekaran sebuah bisnis perlu dipertanyakan keberhasilannya.

Seberapa jauh kebanggaan masyarakat terhadap Bandar udara kesayangan ini menggeser pola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan transportasi sehingga dapat dikonversi menjadi penumpang pesawat terbang menjadi hal yang paling dipertimbangkan oleh maskapai komersil yang akan memborong ijin rute penerbangan melalui bandara ini. 

Namanya Bandar udara komersil jika sudah dibangun harus ada yang terbang, karena posisi Pekalongan bukan pusat markas angkatan militer seperti Bandar Udara Juanda Surabaya, Abdurrahman Saleh Malang, Halim Perdana Kusuma Jakarta dan Bandara lainya yang sebenarnya peruntukannya adalah Bandar Udara Militer.

Rute penerbangan yang diluncurkan nantinya pastilah mengambil rute Pekalongan – Jakarta yang berjarak hanya sekitar 340 km. Pesain terberatnya tentu Kereta Api dengan lama tempuh lima jam untuk kereta kelas ekonomi dengan bandrol rata-rata 90 ribu sekali jalan. Belum lagi telah diselesaikannya tol sebagai pengurai jalur pantura tentunya dapat menambah skala ekonomis trayek bus AKAP sehingga waktu tempuh akan semakin pendek dan seharusnya dapat menekan harga tiket perjalanan sehingga peminat jasa moda transportasi udara memiliki rivalitas yang ketat.

Letak geografis bandara yang terletak di Kecamatan Kesesi nyatanya jauh dari pusat keramaian sehingga konsumen harus menyiapkan waktu dan biaya lebih untuk mencapai bandara ini. Sebagai aturan penerbangan domestic yang mengharuskan penumpang melakukan check-in maksimal 40 menit sebelum keberangkatan ditambah jarak tempuh dari pusat keramaian menuju bandara yang bias  dikatakan relative jauh bias memakan waktu hingga satu jam yang artinya penumpang membutuhkan waktu paling tidak empat jam untuk menyelesaikan perjalanannya, selisih satu jam dibandingkan perjalanan via darat menuju Jakarta dan sebaliknya dengan mengorbankan harga tiket yang sewajarnya lebih mahal daripada angkutan darat.

Dengan kesibukan lalu lintas Bandar Udara Soekarno Hatta menjadikan slot lepas landas dan mendarat di bandara ini terbilang cukup mahal. Beruntung apabila induk maskapai plat merah kebanggaan bangsa ini berkenan menjadi sponsor rute penerbangan dari Pekalongan sehingga penerbangan ke Jakarta dari Pekalongan akan terkoneksi ke seluruh Indonesia, bahkan luar negri sekalipun melalui rute yang dilayani Bandar Udara Soekarno Hatta beserta afiliasinya. Ketakutan menghapiri ketika maskapai dengan budged minim menyambungkan jalur Pekalongan ke Jakarta melalui Bandar Udara Halim Perdanan Kusuma. Alih-alih mempersingkat waktu, penumpang harus mengkompensasi waktu dan biaya ekstra untuk transfer antar bandara bila salah memilih koneksi perjalanan jalur udara yang dipilihnya.

Kemandirian ekonomi memang sejalur dengan permintaan pasar, namun tidak serta merta bagi ceruk pasar yang terlalu spesifik. Perkembangan infrastruktur dan teknologi mendidik masyarakat untuk menjadi pembeli cerdas terhadap segala alternatif sehingga ujung-ujungnya tercipta persaingan pasar yang sempurna.

Revitalisasi bandara peninggalan Belanda di Pekalongan perupakan gebrakan pembangunan ekonomi yang perlu di apresiasi dengan tidak melupakan potensi pasar bagi maskapai sehingga keberlangsungan hidup rute asal Pekalongan di Bandara ini tetap konsisten yang ujung-ujungnya membuat maskapai betah atau hanya sebatas melakukan riset pasar kemudian tutup dengan sendirinya.

Membangan bandara memakan biaya yang besar, jangan sampai sudah dibangun nantinya hanya menjadi tempat adu balap illegal masyarakat karena fungsinya tidak tersalurkan. Alih-alih merevitalisasi bandara di Pekalongan, pemerintah daerah seyogyanya mendahulukan infrastruktur pendukung keberadaan bandara di Pekalongan seperti jalur masuk yang mudah di akses serta yang terpenting adalah transportasi dalam kota yang memadahi perlu dimiliki Kabupaten Pekalongan dibandingkan dengan bandar udara yang hanya dijadikan gengsi sesaat. APBD merupakan uang rakyat jangan sampai dipergunakan untuk mendanai proyek yang tidak tepat guna. Salam.