Pekalongan memang menjadi salah satu daerah yang sangat
diperhitungkan di Tanah Jawa pada masanya. Masa keemasan Pekalongan tidak lain
dikarenakan oleh faktor mutlak, sentral Pulau Jawa dengan kemajuan pelabuhan
sebagai pusat perdagangan, rasanya sulit diadaptasi oleh daerah lain.
Keunggulan Komparatif yang diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan yang
dikemukakan oleh David Ricardo tahun 1817 dalam buku fenomenalnya yang berjudul
Principle of Political Economy and
Taxation rasanya pantas dijadikan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa
Pekalongan memang memiliki sebuah keunggulan dibandingkan daerah lain.
Catatan sejarah yang menempatkan Pekalongan sebagai
pelabuhan kuno yang besar bagi kerajaan-kerajaan di Jawa menjadi tanda bahwa
kemajuan wilayah Pekalongan memang sangat diperhitungkan. Pemilihan Pekalongan
sebagai titik nol kilometer (mylpaal) melalui mega proyek pembuatan jalur
pantai utara sepanjang seribu kilometer oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda
tahun 1808-1811, Herman Willem Deandels, sebagai percepatan jalur koordinasi
antar wilayah.
Hingga tahun 1830, Pekalongan tercatat memiliki tiga pabrik
yang mensuport kejayaan Indonesia sebagai eksportir gula terbesar di dunia.
Potret keemasan Pekalongan lain adalah ditemukannya bukti bahwa Pekalongan
memiliki bandar udara kuno yang diperkirakan peninggalan jajahan Hindia Belanda
seluas 25 hektare di daerah Kesesi.
Pemerintah kabupaten kini bersiap untuk mengupayakan
revitalisasi peninggalan bersejarah ini melalui pidato Bupati Pekalongan, Asip
Kholbihi, Maret lalu yang terlihat sangat bersemangat untuk meneliti kembali
serta membuat kajian tentang kelayakan Bandar udara tersebut untuk dioperasikan
kembali. Asip menegaskan bahwa rencana revitalisasi Bandar udara ini telah
disampaikan ke Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, melalui Musrembang Eks
Karesidenan Pekalongan 2017 di Pemalang dengan harapan pengembalian fungsi
Bandar udara ini dapat mempercepat pembangunan Kabupaten Pekalongan.
Hal senada sebenarnya pernah disampaikan oleh Walikota
Pekalongan periode sebelumnya kala menjabat, Basyir Achmad, kepada Menteri
Perhubungan untuk mendirikan Bandar udara di Kota Pekalongan. Sayangnya niatan
ini ditolak oleh Ignatius Jonan, Menteri Perhubungan waktu itu.
Penolakan ijin pembangunan Bandar udara ini memang sebuah
hal yang menarik untuk di kaji. Terlebih untuk perkembangan Pekalongan baik
kabupaten maupun kota. Minimnya lahan di Kota Pekalongan mendasari alasan
penolakan ini. Berbeda dengan Kota, Kabupaten Pekalongan justru diuntungkan
dengan adanya 25 hektare lahan milik pemerintah di kawasan bekas Bandar udara
kuno ini tentunya memudahkan dalam proses pembangunannya. Oleh karena itu jika
memang benar masalah lahan penyebabnya, bukan tidak mungkin pemerintah pusat
akan memberikan izin pembangunannya.
Namun apa yang akan terjadi apabila revitalisasi Bandar
Udara Pekalongan ini berjalan mulus. Analisa sederhana dalam rencana
pembangunan kembali Bandar Udara Pekalongan ini patut dijadikan bahan
pertimbangan.
Prestisius merupakan hal yang terlintas paling awal ketika
sebuah daerah memiliki Bandar udara. Laiknya pelabuhan, Bandar udara di sebuah
daerah dianalogikan sebagai daerah maju karena memang perputaran ekonomi
relative lebih cepat berkembang di daerah tersebut sehingga masyarakat akan
menyambut baik pembangunan infrastruktur kebanggaan masyarakat ini.
Pertumbuhan ekonomi serta permintaan pasar terhadap moda
transportasi baru sewajarnya memiliki hubungan linier di semua wilayah. Terlebih
status ekonomi masyarakat Pekalongan yang oleh beberapa kalangan disebut
sebagai pasar potensial bagi penjualan produk. Nyata-nyata perusahaan
penerbangan nomer satu di Indonesia milik pemerintah, Garuda Indonesia, tak
luput dari usaha pengembangan bisnis di Pekalongan dengan membuka gerai penjualan
di Pekalongan meskipun statusnya masih berada di bawah komando kantor cabang
Semarang. Artinya keberadaan gerai pemasaran diperuntukkan untuk mendukung
penjualan di wilayah Semarang sehingga dapat dikatakan permintaanya untuk
keberlangsungan pemekaran sebuah bisnis perlu dipertanyakan keberhasilannya.
Seberapa jauh kebanggaan masyarakat terhadap Bandar udara
kesayangan ini menggeser pola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
transportasi sehingga dapat dikonversi menjadi penumpang pesawat terbang
menjadi hal yang paling dipertimbangkan oleh maskapai komersil yang akan
memborong ijin rute penerbangan melalui bandara ini.
Namanya Bandar udara komersil jika sudah dibangun harus ada yang terbang, karena posisi Pekalongan bukan pusat markas angkatan militer seperti Bandar Udara Juanda Surabaya, Abdurrahman Saleh Malang, Halim Perdana Kusuma Jakarta dan Bandara lainya yang sebenarnya peruntukannya adalah Bandar Udara Militer.
Namanya Bandar udara komersil jika sudah dibangun harus ada yang terbang, karena posisi Pekalongan bukan pusat markas angkatan militer seperti Bandar Udara Juanda Surabaya, Abdurrahman Saleh Malang, Halim Perdana Kusuma Jakarta dan Bandara lainya yang sebenarnya peruntukannya adalah Bandar Udara Militer.
Rute penerbangan yang diluncurkan nantinya pastilah
mengambil rute Pekalongan – Jakarta yang berjarak hanya sekitar 340 km. Pesain
terberatnya tentu Kereta Api dengan lama tempuh lima jam untuk kereta kelas
ekonomi dengan bandrol rata-rata 90 ribu sekali jalan. Belum lagi telah
diselesaikannya tol sebagai pengurai jalur pantura tentunya dapat menambah skala
ekonomis trayek bus AKAP sehingga waktu tempuh akan semakin pendek dan
seharusnya dapat menekan harga tiket perjalanan sehingga peminat jasa moda
transportasi udara memiliki rivalitas yang ketat.
Letak geografis bandara yang terletak di Kecamatan Kesesi
nyatanya jauh dari pusat keramaian sehingga konsumen harus menyiapkan waktu dan
biaya lebih untuk mencapai bandara ini. Sebagai aturan penerbangan domestic yang
mengharuskan penumpang melakukan check-in
maksimal 40 menit sebelum keberangkatan ditambah jarak tempuh dari pusat
keramaian menuju bandara yang bias dikatakan
relative jauh bias memakan waktu hingga satu jam yang artinya penumpang
membutuhkan waktu paling tidak empat jam untuk menyelesaikan perjalanannya,
selisih satu jam dibandingkan perjalanan via darat menuju Jakarta dan
sebaliknya dengan mengorbankan harga tiket yang sewajarnya lebih mahal daripada
angkutan darat.
Dengan kesibukan lalu lintas Bandar Udara Soekarno Hatta
menjadikan slot lepas landas dan mendarat di bandara ini terbilang cukup mahal.
Beruntung apabila induk maskapai plat merah kebanggaan bangsa ini berkenan
menjadi sponsor rute penerbangan dari Pekalongan sehingga penerbangan ke
Jakarta dari Pekalongan akan terkoneksi ke seluruh Indonesia, bahkan luar negri
sekalipun melalui rute yang dilayani Bandar Udara Soekarno Hatta beserta
afiliasinya. Ketakutan menghapiri ketika maskapai dengan budged minim
menyambungkan jalur Pekalongan ke Jakarta melalui Bandar Udara Halim Perdanan
Kusuma. Alih-alih mempersingkat waktu, penumpang harus mengkompensasi waktu dan
biaya ekstra untuk transfer antar bandara bila salah memilih koneksi perjalanan
jalur udara yang dipilihnya.
Kemandirian ekonomi memang sejalur dengan permintaan pasar,
namun tidak serta merta bagi ceruk pasar yang terlalu spesifik. Perkembangan infrastruktur
dan teknologi mendidik masyarakat untuk menjadi pembeli cerdas terhadap segala alternatif
sehingga ujung-ujungnya tercipta persaingan pasar yang sempurna.
Revitalisasi bandara peninggalan Belanda di Pekalongan
perupakan gebrakan pembangunan ekonomi yang perlu di apresiasi dengan tidak
melupakan potensi pasar bagi maskapai sehingga keberlangsungan hidup rute asal
Pekalongan di Bandara ini tetap konsisten yang ujung-ujungnya membuat maskapai
betah atau hanya sebatas melakukan riset pasar kemudian tutup dengan
sendirinya.
Membangan bandara memakan biaya yang besar, jangan sampai
sudah dibangun nantinya hanya menjadi tempat adu balap illegal masyarakat
karena fungsinya tidak tersalurkan. Alih-alih merevitalisasi bandara di
Pekalongan, pemerintah daerah seyogyanya mendahulukan infrastruktur pendukung
keberadaan bandara di Pekalongan seperti jalur masuk yang mudah di akses serta
yang terpenting adalah transportasi dalam kota yang memadahi perlu dimiliki
Kabupaten Pekalongan dibandingkan dengan bandar udara yang hanya dijadikan
gengsi sesaat. APBD merupakan uang rakyat jangan sampai dipergunakan untuk
mendanai proyek yang tidak tepat guna. Salam.